SAHABATKU, Raffa :)
Judul : SAHABATKU, Raffa
Penulis : Annis Raka Prianti
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Rintik hujan yang mengguyur disore ini bagai alunan musik pemecah hening dilangit yang hampir gelap. Semakin lama, semakin banyak air hujan yang berebut turun ke bumi. Suaranyapun semakin jelas terdengar. Aku terbawa suasana dan hawanya yang dingin menyejukkan. Aku teringat seseorang yang selalu mengajakku bermain dikala hujan turun. Menyanyi dan berlarian layaknya film bollywood kebanyakan. Aku berlari dan bernyanyi dengan seorang pria yang sangat tampan dibawah rintik hujan. Saat berlari aku pun terpeleset dan hampir jatuh, tapi pria tampan itu menangkapku dan menahanku dalam dekapannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara cempreng yang memecah telingaku.
"Lily?!" Suara yang merdu dan menusuk gendang telinga itu membuyarkan lamunanku. Suaranya terdengar sangat merdu hingga hampir memecahkan gendang telingaku.
"Ah... Xing... Bisa gak sih gak ngeganggu gue pas ngelamun?!" Aku menatap Xing dengan kesal dan dengan bibir yang mengerucut panjang.
"Sorry, tapi kali ini gawat. Ada pasien UGD tuh! Cepet kita bantuin dokter Nicko!" Xing menarik tanganku untuk berlari mengikuti langkah cepat dan panjangnya. Aku pun ikut berlari dengannya menuju ruang UGD.
*****
Satu jam sudah aku dan Xing membantu dokter Nicko mengoperasi pasien ini. Sekilas aku menatap wajah pasien yang sedang memakai masker ini. Aku merasa pernah melihatnya, bahkan merasa seperti mengenalnya. Tapi saat aku sedang melayang dengan isi kepalaku, lagi-lagi Xing mengagetkanku.
"Lily, kata dokter Nicko ambil gunting!" Bisik Xing ditelingaku.
"Ah Iya Dok..." Aku langsung mengambil gunting yang dimaksud Dokter Nicko, dan kembali fokus membantu Dokter Nicko menyelesaikan Operasi ini.
*****
Tiga puluh menit kemudian, operasi pun selesai. Pasien telah dibawa ke ruang ICU karena kondisinya yang masih koma.
"Tadi pasien itu sakit apa sih Xing?" Tanyaku sambil melepas seragam operasi.
"Kanker tulang... Kasian deh, masih muda tapi 50% organ tubuhnya udah gak berfungsi... Dia kayaknya seumuran sama kita." Jawaban Xing tiba-tiba saja membuatku merinding. Tubuhku serasa kaku. Aku jadi terbayang seandainya aku yang diposisi pasien itu... Ahh tubuhku lagi-lagi bergidik dan bergetar merinding.
"Woy Lily? Kok bengong sih?! Kebiasaan lo ah melamun mulu!" Ucap Xing sambil mencubit pipiku gemas. Mungkin untuk menyadarkanku dari lamunanku yang menyeramkan itu.
"Yah... Gue gak kebayang aja andai gue diposisi dia..." Aku melipat kedua tanganku diatas meja dan meletakan kepalaku diatasnya. Tubuhku terasa lemas akibat lamunanku tadi.
"Yaudah, daripada melamun mending check kondisinya sana! Sebelum dokter cadel itu marah lagi." Ucap Xing sambil menyerahkan pulpen dan selembar kertas data pasien.
"Namanya Dokter Nicko! Bukan dokter cadel! Biar cadel gitu juga ganteng tau!" Aku mengambil kertas dan pulpen itu lalu berjalan meninggalkan Xing dan menuju kamar pasien.
*****
Sebelum masuk ruang ICU itu aku melihat seseorang yang tak asing untuk dilihat baru keluar dari ruang ICU itu.
"Lucas? Kamu ngapain disini Dek?" Tanyaku pada Lucas yang terlihat murung. Matanya sembab, raut wajahnya murung dan frustasi. Sepertinya dia sedang mengalami sesuatu yang menyiksa batin dan pikirannya.
"Kak Lily? Kakak ngapain disini?!" Bukan jawaban yang ku dapat, tapi malah sebuah pertanyaan yang berbalik ditanyakan oleh Lucas.
"Aku suster disini Dek, kamu sendri? Kamu kenal pasien yang didalam?" Aku mulai melirik kedalam kamar ICU itu.
"Kak, yang didalam itu Kak Rafael..." Suara Lucas terdengar lirih saat menyebut nama Kakaknya. Dengan panik namun sigap, aku segera membaca data pasien dalam selembar kertas itu Rafael Landry Tanubrata, 21 tahun.
"Tidak, tidak mungkin ini Rafael sahabatku!" batinku. Aku langsung masuk kedalam kamar ICU itu, dan segera menuju sisi ranjang tempat Rafael berbaring.
"Rafael?!" Pekikku.
"Jadi pasien yang terkena Kanker Tulang itu kamu?!" Tanpa sadar air mataku yang sejak tadi mendesak ingin keluar sudah tumpah dan mengalir perlahan mengikuti lekukan pipiku yang mengembung.
"Iya Kak... Itu Kak Rafael... Oya, apa Kakak punya waktu luang? Ada yang mau aku ceritain. Lima belas menit aja..." Pinta Lucas dengan raut wajah memelas. Kentara sekali ia ingin aku menjawab iya. Karena raut wajahnya yang memelas itu memaksaku untuk menuruti permintaannya.
"Iya, tapi setelah Kakak cek keadaan Kakak kamu dulu yah..." Sahutku sambil menghapus sisa-sisa air mataku yang masih menggantung diatas pipiku yang mengembung.
"Oke, aku tunggu diluar yah Kak..." Lucas pun keluar dari kamar ICU dengan langkah perlahan sambil terus menoleh kearah Kakaknya yang sedang berbaring tak sadarkan diri.
Aku pun memeriksa detak jantung, dan hembusan nafasnya pertiga puluh detik. Setelah selesai, aku mencoba kembali menatap wajah sahabat lama yang tak ku temui sejak 3tahun lalu itu. Telah lama tak bertemu dengannya, kini aku menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Harusnya aku bisa mendengarkan kisah-kisah jenakanya seperti 3 tahun lalu. Karena hanya cerita-cerita jenakanya yang selalu mampu menghiburku dulu.
"Sejak tiga tahun lalu aku memang sempat membencimu yang sempat tak menepati janjimu dihari spesialku... Tapi saat ini, melihatmu dengan keadaan seperti ini... Rasa benci itu musnah, Raff... Cepet sadar yah, cepet sembuh..." Ucapku sambil mengecup kening Raffael dan menatapnya sesaat sebelum aku meninggalkannya di kamar ICU ini. Aku pun merapihkan selimut Raffael, lalu keluar untuk menemui Lucas.
"Gimana keadaan Kak Raffa?" Tanya Lucas dengan panik ketika aku keluar dari kamar ICU tempat Kakaknya dirawat.
"Kakak gak bisa jawab, karena Kakak juga gak tau... Kita cuma bisa berdoa... Oya, kamu mau ngomong apa Dek?" Dustaku. Sebenarnya masih tidak ada perkembangan pada Raffael pasca operasi. Tapi aku tak mau membuat Lucas semakin sedih lagi.
"Kak inget tiga tahun lalu saat ulang tahun Kakak ke 18? Kak Raffa gak dateng kan? Kak Raffa bukannya gak mau nepatin janji Kak, tapi gejala penyakit Kak Raffa timbul dihari itu... Waktu Kak Raffa mau nyebrang, tiba-tiba kaki Kak Raffa gak bisa digerakin... Kecelakaan pun gak bisa dicegah... Kak Raffa keserempet motor Kak... Setelah check up ke rumah sakit, Kak Raffa difonis Mengidap penyakit Kanker Tulang. Perlahan dan secara bertahap organ tubuh Kak Raffa akan berhenti berfungsi Kak... Dan ditahun ketiga ini, sudah 60% organ gerak tubuh Kak Raffa udah gak berfungsi..." Ungkap Lucas dengan lirnangan air matanya.
Tanpa sadarpun, ternyata air mataku telah tumpah dan tak terbendung lagi. Sesak dadaku rasanya. Hatiku terasa tersayat. Menyesal, Kesal dan aku merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. Ternyata rasa benci yang tumbuh selama ini hanya salah paham belaka. Aku menyesal karena telah membencinya. Kesal karena telah membiarkan rasa benci itu tumbuh selama tiga tahun. Aku merasa jadi manusia paling bodoh karena tidak pernah berusaha mencarinya dan meminta penjelasan darinya.
"Kak? Maafin aku yah udah buat Kakak sedih..." Lucas mengulurkan sapu tangannya padaku. Tapi aku hanya tersenyum tipis. Aku beranjak dari dudukku dan berdiri dihadapannya.
"Yang penting sekarang, kita terus berdoa buat kesembuhan Kak Raffa... Kakak gak sedih kok, kamu juga jangan sedih yah. Percaya aja, kalo Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk semua umatnya..." Ucapku berusaha menguatkan Lucas yang saat ini terlihat sangat rapuh.
"Iya Kak... Kakak jangan marah sama Kak Raffa lagi ya?" Ucapan Lucas membuat jantungku berhenti berdetak sesaat. Ucapannya seperti sebuah hantaman yang jatuh tepat dijantungku. Kesalahan terbesarku memanglah membencinya. Aku memang menyesal, bahkan sangat menyesal.
"Gak kok... Kamu udah makan?" Tanyaku berusaha mencairkan suasana yang sudah membuatku tegang ini.
"Belum, aku mana bisa makan, sementara didalam... Kak Raffa sedang berjuang untuk hidup." Jawabnya. Lucas menatap Raffa dari luar pintu.
"Tapi kamu harus makan, kalo gak nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, siapa yang jagain Kak Raffa? Kan cuma kamu yang Kak Raffa punya saat ini. Ikut Kakak yuk, kita cari makanan!" Aku mengulurkan tanganku. Lucas pun meraihnya. Aku dan Lucas pun pergi menuju kantin rumah sakit setelah aku menyerahkan data Raffa pada dokter Nicko.
*****
Saat sedang menemani Lucas makan, tiba-tiba Xing meneleponku.
"Aduh Xing, bisa gak sih lo tuh gak ganggu gue pas gue lagi tenang? Kalo mau ganggu tuh cari waktu yang pas!" Aku berceloteh tanpa mendengarkan Xing bicara lebih dulu.
"Apa?! Oke, gue kesana sekarang! Thanks yah, kali ini lo ganggu gue tapi buat gue seneng!" Aku mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon dengan sebuah senyum yang menghiasi bibirku.
"Kenapa Kak?" Sambil terus makan, Lucas bertanya dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin dia bingung melihatku yang tadinya marah-marah saat mengangkat telepon, tapi tiba-tiba sekarang tersenyum setelah menerima telepon.
"Kak Raffa udah sadar! Cepet kamu abisin makannya, dan kita temuin Kak Raffa." Ajakku penuh antusias. Lucas tersenyum lebar. Kentara sekali ia merasa lega dan bahagia. Tanpa menjawab Lucas pun segera menghabiskan makanannya.
*****
"Xing, gimana pasiennya?" Bisikku pada Xing yang sedang mencatat data Raffa yang sedang diperiksa oleh dokter Nicko.
"Sedikit ada peningkatan walaupun sedikit." Jawabnya balik berbisik.
"Ah... Adik keluarga pasien kan? Bisa panggil orang tua Adik untuk kesini?" Dokter Nicko menatap Lucas denan tatapan serius. Aku pun ikut menatap Lucas yang terlihat bingung harus menjawab apa.
"Dok, mereka berdua udah gak punya orang tua..." Jawabku spontan.
"Iya Dok, biaya operasi saja boleh hasil sumbangan..." Sambung Lucas dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ah maaf... Tapi ada hal penting yang harus dibicarakan..." Gumam Dokter Nicko dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Saya saja Dok, saya sahabatnya dari kecil.. Jadi mereka sudah seperti keluarga saya sendiri." Pintaku dengan wajah yang memelas. Aku tatap Dokter Nicko dalam-dalam. Semoga saja ini mampu menghipnotisnya.
"Baiklah, Lily ikut saya ke ruangan. Xing, temani Adik pasien ya..." Ucap Dokter Nicko sambil berjalan meninggalkan kamar ICU.
"Lucas sini dulu yah... Nanti Kakak balik lagi." Ucapku sebelum pergi menyusul dokter Nicko yang sudah keluar Kamar ICU.
*****
"Tangan pasien sudah bisa digerakan, tapi pada bagian kaki masih tidak bisa digerakan. Penglihatan pun mulai memudar. Dengan kata lain 35% organ tubuh pasien masih tidak berfungsi. Dan operasi tadi hanya mampu mengurangi 20% fungsi dari organ tubuh pasien." Jelas Dokter Nicko dengan raut wajah cemas. Terlihat sekali kalau Dokter Nicko pun cemas dan khawatir pada pasiennya.
"Jadi apa ada usaha lain untuk mencegah penurunan fungsi organ tubuh pasien? Pasien bisa sembuh kan Dok? Dokter Nicko kan Dokter hebat, pasti bisa kan Dok?" Dengan lirnangan air mata aku mengamuk dan menangis. Apa yang harus aku katakan pada Lucas nanti, jika ia menanyakan keadaan Kakaknya?
"Maafkan saya Lily, tapi belum ada satupun Dokter didunia yang mampu menekan obat mujarab penyembuh Kanker Tulang. Operasi dan obat-obatan semahal apapun hanya memperlambat usia pasien saja... Saya harap kamu mengerti, dan bisa menerima masalah ini dengan sabar dan ikhlas." Dokter Nicko menghapuskan air mataku dengan jemari lembutnya.
*****
Aku menyeret kakiku dan melangkah pelan menuju kamar ICU. Bumi terasa runtuh, dan semua isinya serasa ada dikepalaku sekarang. Terasa berat dan sangat menyiksa. Apa yang harus aku jelaskan pada Lucas? Kenapa semua harus terjadi secepat ini?
"Lily?!" Xing berteriak tepat ditelingaku.
"Aaaahh! Xing! Bisa gak sih lo gak ngagetin gue sekali aja! Tiap hari nyawa gue tuh terancam cuma gara-gara lo!" Bentakku pada Xing.
"Ah lebay lo! Lagian tiap waktu dan dimanapun bengong mulu! Gak baik tau... Lo ada masalah?" Xing mengangkat daguku dan menatap wajahku yang memang sedang sendu.
"Yah... Gitulah... Gue belum bisa cerita. Gue duluan ya..." Aku pun pergi meninggalkan Xing untuk menjenguk Raffa dan menemui Lucas.
*****
"Hay..." Sapaku pada Raffa yg sedang terbaring lemah.
"Kak, gimana keadaan Kak Raffa?" Terlihat sebuah senyum simpul diwajah Lucas. Dan aku tak mau menghapusnya. Aku tidak mau merusak kebahagiaannya.
"Kondisi Kakak kamu membaik, Kak Raffa pasti nanti sembuh." Dustaku pada Lucas. Maafkan aku Tuhan, aku hanya tak ingin menghancurkan kebahagiaannya saat ini.
"Tuh Kak denger kan kata Kak Lily? Kakak pasti sembuh!" Ucap Lucas penuh antusias.
"Lily? Lily Afrianti?" Raffa memutar bola matanya berusaha mencariku. Padahal kini aku tepat berada disampingnya. Ternyata penglihatannya benar-benar memburuk.
"Iya Raffa, ini aku." Kuraih tangannya yang tersambung jarum infus. Ya Tuhan, aku sungguh tidak tega melihat keadaan Raffa seperti ini. Aku semakin merasa bersalah dan menyesal telah menjauhinya. Harusnya aku bisa berada disisinya saat keadaannya seperti ini.
"Sejak kapan kamu ada disini?! Pergi!" Raffa melepas paksa genggaman tanganku.
"Kakak..." Lucas berusaha menenangkan Raffa.
"Pergi! Pergi Lily!" Raffa berteriak histeris seperti tak menerima keadaanku disini. Apakah wajahku menyeramkan? Apakah aku menakutkan? Mengapa Raffa begitu histeris? Mengapa dia memintaku pergi?
"Raffa... Ini aku Lily... Gak mungkin kan kamu lupa?" Aku semakin mendekat pada Raffa. Ku genggam dan ku ciumi tangannya.
"Pergi! Dokter tolong!" Raffa semakin histeris dan meronta menolak kehadiranku.
"Kakak, please keluar yah Kak..." Pinta Lucas dengan wajah memohon. Lucas pun menangis melihat keadaanku.
Akhirnya dengan berat hati aku pun pergi keluar kamar ICU, meninggalkan Raffa dan Lucas. Jika memang Raffa tak menginginkan kehadiranku, aku harus bisa menerimanya. Aku pantas menerima ini, karena dulu pun aku sempat menolak kehadirannya dihidupku. Tapi sesakit inikah rasanya ditolak? Sesak dan perih. Tapi aku tak ingin membuat keadaan Raffa memburuk karena kehadiranku. Aku memang harus pergi.
*****
Aku terduduk dan terdiam dalam sendu. Bagai pohon tua yang ranting dan dahannya telah rapuh, daun kering dan berguguran. Dan siap ambruk ditiup angin yang akan menerjang. Rasa perih ini tak terhankan. Aku terduduk terdiam selama satu jam dengan lirnangan air mata yang seakan tak pernah ada habisnya.
"Kakak?" Kali ini bukan suara Xing yang mengagetkanku. Suara Lucas yang terdengar Lirih lah yang membuatku tersadar dari renunganku.
"Ya Lucas?" Kuhapus lirnangan air mataku sebelum aku menatap Lucas.
"Maafin Kak Raffa yah Kak... Kak Raffa cuma malu sama keadaannya yang sekarang. Kak Raffa cuma gak mau Kakak liat Kak Raffa seperti sekarang. Aku yakin, sebenernya Kak Raffa seneng akhirnya bisa ketemu Kakak lagi..." Lucas menghapuskan air mataku yang terus mengalir.
"Kakak ngerti kok... Makasih ya sayang." Aku berusaha tersenyum pada Lucas.
"Tapi sekarang, Kak Raffa udah mau ketemu Kakak kok. Aku udah bujuk Kak Raffa. Kakak jangan sedih lagi ya..." Senyuman Lucas yang terlihat sangat polos dan penuh rasa gembira itu telah membuat hatiku lega.
"Bener? Makasih yah Dek." Ku cium keningnya, lalu beranjak dari dudukku dan masuk kedalam kamar ICU Raffa.
"Raffa..." Ku langkahkan kakiku dengan perlahan mendekatinya.
"Bukannya kamu udah gak mau ketemu aku lagi?! Mau apa lagi sekarang?" Tanya Raffa dengan nada ketus.
"Maafin Aku Raff, waktu itu aku kira kamu sengaja gak nepatin janji kamu dihari ulang tahun aku. Tapi ternyata, semua diluar kendali kamu. Maaf Raff." Ku genggam tangan Raffa. Ku lihat butiran bening mulai mengalir dari bola mata Raffa yang mulai hilang fungsinya.
"Tapi kenapa baru sekarang? Kamu lihat keadaanku sekarang? Menyedihkan bukan?! Aku tau, kamu pasti lagi ketawa dan bahagia liat aku sekarang!" Ucap Raffa dengan lirnangan air matanya yang terus mengalir, seiring dengan air mataku yang mengalir.
“Raffa, STOP! Raffa dengerin aku!” Aku menarik kepala Raffa menghadapku dengan perlahan, walau aku tau itu tak terlalu berpengaruh baginya karena penglihatannya yang memudar.
“Aku memang bahagia, bahagia bias bertemu kamu lagi dan bias mengerti atas kesalahpahaman yang dulu pernah terjadi. Dan aku memang sedih, kenapa semua ini harus terjadi dengan sahabat yang sangat aku sayangi.” Ku peluk Raffa dengan erat. Entah berapa banyak air mataku yang mengalir, kurasakan lirnangan air hangatpun mengalir dipundakku. Raffa juga menangis dalam pelukanku.
“Maaf Lily… Aku cuma malu sama kamu, aku malu kamu lihat aku menderita seperti ini…” Raffa pun mulai membalas pelukanku.
“Aku sayang kamu Raffa… bertahanlah, semua pasti bias teratasi. Tuhan punya rencana yang indah untuk kamu.” Aku berusaha menyemangatinya, dan menjadi Lily yang dulu. Lily yang selalu ada untuk Raffa. Baik suka maupun duka, menerima semua kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
“Kalau aku pergi nanti, boleh aku titip Lucas sama kamu?” Ucap Raffa pelan, seperti rintihan.
“Haha… Ngomong apa sih kamu?! Kamu pasti sembuh kok! Sekarang istirahat yah, aku mau nengok pasien yang lain.” Ucapku berusaha tak membuatnya down lagi. Aku mencium kening Raffa sebelum meninggalkannya sendiri di kamar ICU.
*****
Seminggu sudah Raffa dirawat disini, kondisinya bukan semakin membaik tapi semakin menurun. Dokter Nicko pun hanya bias menunggu takdir dari Tuhan. Kami semua hanya bias berdoa. Lucas pun hanya bias menahan tangisnya tiap kali menjenguk Kakaknya. Kini Lucas mulai tinggal dengan Xander, pacarku sejak SMA. Kondisi Raffa semakin menurun drastic, hingga hari ini ia harus masuk UGD.
“Gimana keadaan Raffa?” Xander menghampiriku yang baru saja keluar dari ruang UGD. Hari ini Xander tak hanya mengantar Lucas menjenguk Raffa, tapi ia juga ikut kedalam dan menjenguk Raffa.
“Kak, apa aku masih punya banyak kesempatan buat ketemu Kak Raffa? Aku pengen bias main lagi sama Kak Raffa…” Lucas menangis terisak memelukku.
“Sabar yah sayang, Dokter lagi berusaha menyelamatkan Kak Raffa, kita bantu doa yah…” Ku balas pelukannya yang sangat erat. Aku tau, Lucas sangat takut untuk kehilangan Raffa.
Xander menghampiriku dan mengusap pundakku. “Sabar yah sayang, Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik untuk Raffa.” Ucap Xander lembut.
Aku hanya mengangguk, dan masuk kembali ke ruang UGD untuk menemani Xing, dan Dokter Nicko.
Satu jam telah berlalu, namun semua tak bias lagi dilanjutkan. Raffa pergi menjemput ajalnya. Aku yakin ini memang yang terbaik untuk Raffa. Tapi berat untukku menerima kenyataan ini. Apalagi untuk Lucas. Raffa adalah saudara kandung Lucas satu-satunya. Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada Lucas?
“Lily, yang sabar yah… Maafkan saya…” Dokter Nicko menepuk pundakku pelan.
“Iya Dok, terima kasih telah melakukan yang terbaik buat Raffa selama ini.” Ucapku sambil meraih tangan Dokter Nicko yang masih menempel dipundakku.
“Yang sabar ya Lily… tabah… Semua akan berakhir indah. Tuhan masih punya rencana lain dibalik hari ini.” Xing pun ikut berusaha menyemangatiku.
Aku hanya bisa tersenyum tanpa bias berucap apapun. Xing dan Dokter Nicko pun keluar dari ruang UGD, disusul Lucas dan Xander yang masuk kedalam UGD.
“Kak Raffffaaaaa….” Lucas berlari menghampiri Raffa dengan tangis yang histeris.
Xander menghampiriku dan langsung memelukku. Ia tahu, hanya pelukannyalah yang sekarang aku butuhkan. Karena aku merasa tubuhku melemas. Jantungku serasa mulai lambat berdetak. Aku saja merasakan betapa terpukulnya dalam menerima kenyataan ini, bagaimana dengan Lucas?
“Yang kuat yah Sayang, tetap jadi Liliy yang selalu semangat.” Xander menghapuskan air mataku yang tak berhenti mengalir sejak tadi.
“Kakak Jahat! Kenapa Kakak tinggalin Lucas? Kakak JAHAT!” Lucas terus menangis histeris.
Xander melepaskan pelukannya padaku, lalu membawa Lucas keluar dari ruang UGD ini untuk menenangkannya dan memberinya pengertian atas kepergian Raffa. Sementara aku mengurus pemakaman jassad Raffa.
*****
Dihari pemakaman Raffa, Lucas masih ngotot ingin ikut ke pemakaman, padahal ia sudah beberapa kali pingsan. Tapi mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa mendampingi Kakaknya, sebelum ia tidak akan pernah bias bertemu lagi dengan Kakaknya.
“Semoga Kakak bahagia di surga, Lucas sayang Kakak…” Ucap Lucas sambil menaburkan bunga pada makam Raffa.
“Kita pulang yuk Sayang…” Ku genggam tangannya. Ku tuntun ia untuk jalan bersamaku dengan perlahan dan meninggalkan makam Lucas.
Aku, Lucas dan Xander pun pulang. Kini Lucas tinggal bersamaku. Ia tetap lanjut bersekolah seperti dahulu. Xanderlah yang membantuku membiayai Lucas sekolah. Aku akan menjaga dan merawat Lucas seperti pesan terakhirmu, Raffa. Tenanglah engkau dalam dekapan Tuhan.
Selamat tinggal Raffa... Walaupun pada akhirnya aku harus kehilanganmu untuk terakhir kalinya, tapi percayalah... Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kudapatkan. Walaupun pada akhirnya pertemuan ini harus berakhir dengan duka yang amat dalam. Tapi aku yakin, Tuhan mempunyai rencana yang indah... Baik untukku, Lucas dan engkau yang berada jauh disana :)
END
NO COPAS, NO EDIT NO BAJAAKKK!
DOSA TANGGUNG SENDIRI!
NISNIS
KERITIK, KOMENT DAN SARAN ditunggu :))
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Penulis : Annis Raka Prianti
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Rintik hujan yang mengguyur disore ini bagai alunan musik pemecah hening dilangit yang hampir gelap. Semakin lama, semakin banyak air hujan yang berebut turun ke bumi. Suaranyapun semakin jelas terdengar. Aku terbawa suasana dan hawanya yang dingin menyejukkan. Aku teringat seseorang yang selalu mengajakku bermain dikala hujan turun. Menyanyi dan berlarian layaknya film bollywood kebanyakan. Aku berlari dan bernyanyi dengan seorang pria yang sangat tampan dibawah rintik hujan. Saat berlari aku pun terpeleset dan hampir jatuh, tapi pria tampan itu menangkapku dan menahanku dalam dekapannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara cempreng yang memecah telingaku.
"Lily?!" Suara yang merdu dan menusuk gendang telinga itu membuyarkan lamunanku. Suaranya terdengar sangat merdu hingga hampir memecahkan gendang telingaku.
"Ah... Xing... Bisa gak sih gak ngeganggu gue pas ngelamun?!" Aku menatap Xing dengan kesal dan dengan bibir yang mengerucut panjang.
"Sorry, tapi kali ini gawat. Ada pasien UGD tuh! Cepet kita bantuin dokter Nicko!" Xing menarik tanganku untuk berlari mengikuti langkah cepat dan panjangnya. Aku pun ikut berlari dengannya menuju ruang UGD.
*****
Satu jam sudah aku dan Xing membantu dokter Nicko mengoperasi pasien ini. Sekilas aku menatap wajah pasien yang sedang memakai masker ini. Aku merasa pernah melihatnya, bahkan merasa seperti mengenalnya. Tapi saat aku sedang melayang dengan isi kepalaku, lagi-lagi Xing mengagetkanku.
"Lily, kata dokter Nicko ambil gunting!" Bisik Xing ditelingaku.
"Ah Iya Dok..." Aku langsung mengambil gunting yang dimaksud Dokter Nicko, dan kembali fokus membantu Dokter Nicko menyelesaikan Operasi ini.
*****
Tiga puluh menit kemudian, operasi pun selesai. Pasien telah dibawa ke ruang ICU karena kondisinya yang masih koma.
"Tadi pasien itu sakit apa sih Xing?" Tanyaku sambil melepas seragam operasi.
"Kanker tulang... Kasian deh, masih muda tapi 50% organ tubuhnya udah gak berfungsi... Dia kayaknya seumuran sama kita." Jawaban Xing tiba-tiba saja membuatku merinding. Tubuhku serasa kaku. Aku jadi terbayang seandainya aku yang diposisi pasien itu... Ahh tubuhku lagi-lagi bergidik dan bergetar merinding.
"Woy Lily? Kok bengong sih?! Kebiasaan lo ah melamun mulu!" Ucap Xing sambil mencubit pipiku gemas. Mungkin untuk menyadarkanku dari lamunanku yang menyeramkan itu.
"Yah... Gue gak kebayang aja andai gue diposisi dia..." Aku melipat kedua tanganku diatas meja dan meletakan kepalaku diatasnya. Tubuhku terasa lemas akibat lamunanku tadi.
"Yaudah, daripada melamun mending check kondisinya sana! Sebelum dokter cadel itu marah lagi." Ucap Xing sambil menyerahkan pulpen dan selembar kertas data pasien.
"Namanya Dokter Nicko! Bukan dokter cadel! Biar cadel gitu juga ganteng tau!" Aku mengambil kertas dan pulpen itu lalu berjalan meninggalkan Xing dan menuju kamar pasien.
*****
Sebelum masuk ruang ICU itu aku melihat seseorang yang tak asing untuk dilihat baru keluar dari ruang ICU itu.
"Lucas? Kamu ngapain disini Dek?" Tanyaku pada Lucas yang terlihat murung. Matanya sembab, raut wajahnya murung dan frustasi. Sepertinya dia sedang mengalami sesuatu yang menyiksa batin dan pikirannya.
"Kak Lily? Kakak ngapain disini?!" Bukan jawaban yang ku dapat, tapi malah sebuah pertanyaan yang berbalik ditanyakan oleh Lucas.
"Aku suster disini Dek, kamu sendri? Kamu kenal pasien yang didalam?" Aku mulai melirik kedalam kamar ICU itu.
"Kak, yang didalam itu Kak Rafael..." Suara Lucas terdengar lirih saat menyebut nama Kakaknya. Dengan panik namun sigap, aku segera membaca data pasien dalam selembar kertas itu Rafael Landry Tanubrata, 21 tahun.
"Tidak, tidak mungkin ini Rafael sahabatku!" batinku. Aku langsung masuk kedalam kamar ICU itu, dan segera menuju sisi ranjang tempat Rafael berbaring.
"Rafael?!" Pekikku.
"Jadi pasien yang terkena Kanker Tulang itu kamu?!" Tanpa sadar air mataku yang sejak tadi mendesak ingin keluar sudah tumpah dan mengalir perlahan mengikuti lekukan pipiku yang mengembung.
"Iya Kak... Itu Kak Rafael... Oya, apa Kakak punya waktu luang? Ada yang mau aku ceritain. Lima belas menit aja..." Pinta Lucas dengan raut wajah memelas. Kentara sekali ia ingin aku menjawab iya. Karena raut wajahnya yang memelas itu memaksaku untuk menuruti permintaannya.
"Iya, tapi setelah Kakak cek keadaan Kakak kamu dulu yah..." Sahutku sambil menghapus sisa-sisa air mataku yang masih menggantung diatas pipiku yang mengembung.
"Oke, aku tunggu diluar yah Kak..." Lucas pun keluar dari kamar ICU dengan langkah perlahan sambil terus menoleh kearah Kakaknya yang sedang berbaring tak sadarkan diri.
Aku pun memeriksa detak jantung, dan hembusan nafasnya pertiga puluh detik. Setelah selesai, aku mencoba kembali menatap wajah sahabat lama yang tak ku temui sejak 3tahun lalu itu. Telah lama tak bertemu dengannya, kini aku menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Harusnya aku bisa mendengarkan kisah-kisah jenakanya seperti 3 tahun lalu. Karena hanya cerita-cerita jenakanya yang selalu mampu menghiburku dulu.
"Sejak tiga tahun lalu aku memang sempat membencimu yang sempat tak menepati janjimu dihari spesialku... Tapi saat ini, melihatmu dengan keadaan seperti ini... Rasa benci itu musnah, Raff... Cepet sadar yah, cepet sembuh..." Ucapku sambil mengecup kening Raffael dan menatapnya sesaat sebelum aku meninggalkannya di kamar ICU ini. Aku pun merapihkan selimut Raffael, lalu keluar untuk menemui Lucas.
"Gimana keadaan Kak Raffa?" Tanya Lucas dengan panik ketika aku keluar dari kamar ICU tempat Kakaknya dirawat.
"Kakak gak bisa jawab, karena Kakak juga gak tau... Kita cuma bisa berdoa... Oya, kamu mau ngomong apa Dek?" Dustaku. Sebenarnya masih tidak ada perkembangan pada Raffael pasca operasi. Tapi aku tak mau membuat Lucas semakin sedih lagi.
"Kak inget tiga tahun lalu saat ulang tahun Kakak ke 18? Kak Raffa gak dateng kan? Kak Raffa bukannya gak mau nepatin janji Kak, tapi gejala penyakit Kak Raffa timbul dihari itu... Waktu Kak Raffa mau nyebrang, tiba-tiba kaki Kak Raffa gak bisa digerakin... Kecelakaan pun gak bisa dicegah... Kak Raffa keserempet motor Kak... Setelah check up ke rumah sakit, Kak Raffa difonis Mengidap penyakit Kanker Tulang. Perlahan dan secara bertahap organ tubuh Kak Raffa akan berhenti berfungsi Kak... Dan ditahun ketiga ini, sudah 60% organ gerak tubuh Kak Raffa udah gak berfungsi..." Ungkap Lucas dengan lirnangan air matanya.
Tanpa sadarpun, ternyata air mataku telah tumpah dan tak terbendung lagi. Sesak dadaku rasanya. Hatiku terasa tersayat. Menyesal, Kesal dan aku merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. Ternyata rasa benci yang tumbuh selama ini hanya salah paham belaka. Aku menyesal karena telah membencinya. Kesal karena telah membiarkan rasa benci itu tumbuh selama tiga tahun. Aku merasa jadi manusia paling bodoh karena tidak pernah berusaha mencarinya dan meminta penjelasan darinya.
"Kak? Maafin aku yah udah buat Kakak sedih..." Lucas mengulurkan sapu tangannya padaku. Tapi aku hanya tersenyum tipis. Aku beranjak dari dudukku dan berdiri dihadapannya.
"Yang penting sekarang, kita terus berdoa buat kesembuhan Kak Raffa... Kakak gak sedih kok, kamu juga jangan sedih yah. Percaya aja, kalo Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk semua umatnya..." Ucapku berusaha menguatkan Lucas yang saat ini terlihat sangat rapuh.
"Iya Kak... Kakak jangan marah sama Kak Raffa lagi ya?" Ucapan Lucas membuat jantungku berhenti berdetak sesaat. Ucapannya seperti sebuah hantaman yang jatuh tepat dijantungku. Kesalahan terbesarku memanglah membencinya. Aku memang menyesal, bahkan sangat menyesal.
"Gak kok... Kamu udah makan?" Tanyaku berusaha mencairkan suasana yang sudah membuatku tegang ini.
"Belum, aku mana bisa makan, sementara didalam... Kak Raffa sedang berjuang untuk hidup." Jawabnya. Lucas menatap Raffa dari luar pintu.
"Tapi kamu harus makan, kalo gak nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, siapa yang jagain Kak Raffa? Kan cuma kamu yang Kak Raffa punya saat ini. Ikut Kakak yuk, kita cari makanan!" Aku mengulurkan tanganku. Lucas pun meraihnya. Aku dan Lucas pun pergi menuju kantin rumah sakit setelah aku menyerahkan data Raffa pada dokter Nicko.
*****
Saat sedang menemani Lucas makan, tiba-tiba Xing meneleponku.
"Aduh Xing, bisa gak sih lo tuh gak ganggu gue pas gue lagi tenang? Kalo mau ganggu tuh cari waktu yang pas!" Aku berceloteh tanpa mendengarkan Xing bicara lebih dulu.
"Apa?! Oke, gue kesana sekarang! Thanks yah, kali ini lo ganggu gue tapi buat gue seneng!" Aku mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon dengan sebuah senyum yang menghiasi bibirku.
"Kenapa Kak?" Sambil terus makan, Lucas bertanya dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin dia bingung melihatku yang tadinya marah-marah saat mengangkat telepon, tapi tiba-tiba sekarang tersenyum setelah menerima telepon.
"Kak Raffa udah sadar! Cepet kamu abisin makannya, dan kita temuin Kak Raffa." Ajakku penuh antusias. Lucas tersenyum lebar. Kentara sekali ia merasa lega dan bahagia. Tanpa menjawab Lucas pun segera menghabiskan makanannya.
*****
"Xing, gimana pasiennya?" Bisikku pada Xing yang sedang mencatat data Raffa yang sedang diperiksa oleh dokter Nicko.
"Sedikit ada peningkatan walaupun sedikit." Jawabnya balik berbisik.
"Ah... Adik keluarga pasien kan? Bisa panggil orang tua Adik untuk kesini?" Dokter Nicko menatap Lucas denan tatapan serius. Aku pun ikut menatap Lucas yang terlihat bingung harus menjawab apa.
"Dok, mereka berdua udah gak punya orang tua..." Jawabku spontan.
"Iya Dok, biaya operasi saja boleh hasil sumbangan..." Sambung Lucas dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ah maaf... Tapi ada hal penting yang harus dibicarakan..." Gumam Dokter Nicko dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Saya saja Dok, saya sahabatnya dari kecil.. Jadi mereka sudah seperti keluarga saya sendiri." Pintaku dengan wajah yang memelas. Aku tatap Dokter Nicko dalam-dalam. Semoga saja ini mampu menghipnotisnya.
"Baiklah, Lily ikut saya ke ruangan. Xing, temani Adik pasien ya..." Ucap Dokter Nicko sambil berjalan meninggalkan kamar ICU.
"Lucas sini dulu yah... Nanti Kakak balik lagi." Ucapku sebelum pergi menyusul dokter Nicko yang sudah keluar Kamar ICU.
*****
"Tangan pasien sudah bisa digerakan, tapi pada bagian kaki masih tidak bisa digerakan. Penglihatan pun mulai memudar. Dengan kata lain 35% organ tubuh pasien masih tidak berfungsi. Dan operasi tadi hanya mampu mengurangi 20% fungsi dari organ tubuh pasien." Jelas Dokter Nicko dengan raut wajah cemas. Terlihat sekali kalau Dokter Nicko pun cemas dan khawatir pada pasiennya.
"Jadi apa ada usaha lain untuk mencegah penurunan fungsi organ tubuh pasien? Pasien bisa sembuh kan Dok? Dokter Nicko kan Dokter hebat, pasti bisa kan Dok?" Dengan lirnangan air mata aku mengamuk dan menangis. Apa yang harus aku katakan pada Lucas nanti, jika ia menanyakan keadaan Kakaknya?
"Maafkan saya Lily, tapi belum ada satupun Dokter didunia yang mampu menekan obat mujarab penyembuh Kanker Tulang. Operasi dan obat-obatan semahal apapun hanya memperlambat usia pasien saja... Saya harap kamu mengerti, dan bisa menerima masalah ini dengan sabar dan ikhlas." Dokter Nicko menghapuskan air mataku dengan jemari lembutnya.
*****
Aku menyeret kakiku dan melangkah pelan menuju kamar ICU. Bumi terasa runtuh, dan semua isinya serasa ada dikepalaku sekarang. Terasa berat dan sangat menyiksa. Apa yang harus aku jelaskan pada Lucas? Kenapa semua harus terjadi secepat ini?
"Lily?!" Xing berteriak tepat ditelingaku.
"Aaaahh! Xing! Bisa gak sih lo gak ngagetin gue sekali aja! Tiap hari nyawa gue tuh terancam cuma gara-gara lo!" Bentakku pada Xing.
"Ah lebay lo! Lagian tiap waktu dan dimanapun bengong mulu! Gak baik tau... Lo ada masalah?" Xing mengangkat daguku dan menatap wajahku yang memang sedang sendu.
"Yah... Gitulah... Gue belum bisa cerita. Gue duluan ya..." Aku pun pergi meninggalkan Xing untuk menjenguk Raffa dan menemui Lucas.
*****
"Hay..." Sapaku pada Raffa yg sedang terbaring lemah.
"Kak, gimana keadaan Kak Raffa?" Terlihat sebuah senyum simpul diwajah Lucas. Dan aku tak mau menghapusnya. Aku tidak mau merusak kebahagiaannya.
"Kondisi Kakak kamu membaik, Kak Raffa pasti nanti sembuh." Dustaku pada Lucas. Maafkan aku Tuhan, aku hanya tak ingin menghancurkan kebahagiaannya saat ini.
"Tuh Kak denger kan kata Kak Lily? Kakak pasti sembuh!" Ucap Lucas penuh antusias.
"Lily? Lily Afrianti?" Raffa memutar bola matanya berusaha mencariku. Padahal kini aku tepat berada disampingnya. Ternyata penglihatannya benar-benar memburuk.
"Iya Raffa, ini aku." Kuraih tangannya yang tersambung jarum infus. Ya Tuhan, aku sungguh tidak tega melihat keadaan Raffa seperti ini. Aku semakin merasa bersalah dan menyesal telah menjauhinya. Harusnya aku bisa berada disisinya saat keadaannya seperti ini.
"Sejak kapan kamu ada disini?! Pergi!" Raffa melepas paksa genggaman tanganku.
"Kakak..." Lucas berusaha menenangkan Raffa.
"Pergi! Pergi Lily!" Raffa berteriak histeris seperti tak menerima keadaanku disini. Apakah wajahku menyeramkan? Apakah aku menakutkan? Mengapa Raffa begitu histeris? Mengapa dia memintaku pergi?
"Raffa... Ini aku Lily... Gak mungkin kan kamu lupa?" Aku semakin mendekat pada Raffa. Ku genggam dan ku ciumi tangannya.
"Pergi! Dokter tolong!" Raffa semakin histeris dan meronta menolak kehadiranku.
"Kakak, please keluar yah Kak..." Pinta Lucas dengan wajah memohon. Lucas pun menangis melihat keadaanku.
Akhirnya dengan berat hati aku pun pergi keluar kamar ICU, meninggalkan Raffa dan Lucas. Jika memang Raffa tak menginginkan kehadiranku, aku harus bisa menerimanya. Aku pantas menerima ini, karena dulu pun aku sempat menolak kehadirannya dihidupku. Tapi sesakit inikah rasanya ditolak? Sesak dan perih. Tapi aku tak ingin membuat keadaan Raffa memburuk karena kehadiranku. Aku memang harus pergi.
*****
Aku terduduk dan terdiam dalam sendu. Bagai pohon tua yang ranting dan dahannya telah rapuh, daun kering dan berguguran. Dan siap ambruk ditiup angin yang akan menerjang. Rasa perih ini tak terhankan. Aku terduduk terdiam selama satu jam dengan lirnangan air mata yang seakan tak pernah ada habisnya.
"Kakak?" Kali ini bukan suara Xing yang mengagetkanku. Suara Lucas yang terdengar Lirih lah yang membuatku tersadar dari renunganku.
"Ya Lucas?" Kuhapus lirnangan air mataku sebelum aku menatap Lucas.
"Maafin Kak Raffa yah Kak... Kak Raffa cuma malu sama keadaannya yang sekarang. Kak Raffa cuma gak mau Kakak liat Kak Raffa seperti sekarang. Aku yakin, sebenernya Kak Raffa seneng akhirnya bisa ketemu Kakak lagi..." Lucas menghapuskan air mataku yang terus mengalir.
"Kakak ngerti kok... Makasih ya sayang." Aku berusaha tersenyum pada Lucas.
"Tapi sekarang, Kak Raffa udah mau ketemu Kakak kok. Aku udah bujuk Kak Raffa. Kakak jangan sedih lagi ya..." Senyuman Lucas yang terlihat sangat polos dan penuh rasa gembira itu telah membuat hatiku lega.
"Bener? Makasih yah Dek." Ku cium keningnya, lalu beranjak dari dudukku dan masuk kedalam kamar ICU Raffa.
"Raffa..." Ku langkahkan kakiku dengan perlahan mendekatinya.
"Bukannya kamu udah gak mau ketemu aku lagi?! Mau apa lagi sekarang?" Tanya Raffa dengan nada ketus.
"Maafin Aku Raff, waktu itu aku kira kamu sengaja gak nepatin janji kamu dihari ulang tahun aku. Tapi ternyata, semua diluar kendali kamu. Maaf Raff." Ku genggam tangan Raffa. Ku lihat butiran bening mulai mengalir dari bola mata Raffa yang mulai hilang fungsinya.
"Tapi kenapa baru sekarang? Kamu lihat keadaanku sekarang? Menyedihkan bukan?! Aku tau, kamu pasti lagi ketawa dan bahagia liat aku sekarang!" Ucap Raffa dengan lirnangan air matanya yang terus mengalir, seiring dengan air mataku yang mengalir.
“Raffa, STOP! Raffa dengerin aku!” Aku menarik kepala Raffa menghadapku dengan perlahan, walau aku tau itu tak terlalu berpengaruh baginya karena penglihatannya yang memudar.
“Aku memang bahagia, bahagia bias bertemu kamu lagi dan bias mengerti atas kesalahpahaman yang dulu pernah terjadi. Dan aku memang sedih, kenapa semua ini harus terjadi dengan sahabat yang sangat aku sayangi.” Ku peluk Raffa dengan erat. Entah berapa banyak air mataku yang mengalir, kurasakan lirnangan air hangatpun mengalir dipundakku. Raffa juga menangis dalam pelukanku.
“Maaf Lily… Aku cuma malu sama kamu, aku malu kamu lihat aku menderita seperti ini…” Raffa pun mulai membalas pelukanku.
“Aku sayang kamu Raffa… bertahanlah, semua pasti bias teratasi. Tuhan punya rencana yang indah untuk kamu.” Aku berusaha menyemangatinya, dan menjadi Lily yang dulu. Lily yang selalu ada untuk Raffa. Baik suka maupun duka, menerima semua kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
“Kalau aku pergi nanti, boleh aku titip Lucas sama kamu?” Ucap Raffa pelan, seperti rintihan.
“Haha… Ngomong apa sih kamu?! Kamu pasti sembuh kok! Sekarang istirahat yah, aku mau nengok pasien yang lain.” Ucapku berusaha tak membuatnya down lagi. Aku mencium kening Raffa sebelum meninggalkannya sendiri di kamar ICU.
*****
Seminggu sudah Raffa dirawat disini, kondisinya bukan semakin membaik tapi semakin menurun. Dokter Nicko pun hanya bias menunggu takdir dari Tuhan. Kami semua hanya bias berdoa. Lucas pun hanya bias menahan tangisnya tiap kali menjenguk Kakaknya. Kini Lucas mulai tinggal dengan Xander, pacarku sejak SMA. Kondisi Raffa semakin menurun drastic, hingga hari ini ia harus masuk UGD.
“Gimana keadaan Raffa?” Xander menghampiriku yang baru saja keluar dari ruang UGD. Hari ini Xander tak hanya mengantar Lucas menjenguk Raffa, tapi ia juga ikut kedalam dan menjenguk Raffa.
“Kak, apa aku masih punya banyak kesempatan buat ketemu Kak Raffa? Aku pengen bias main lagi sama Kak Raffa…” Lucas menangis terisak memelukku.
“Sabar yah sayang, Dokter lagi berusaha menyelamatkan Kak Raffa, kita bantu doa yah…” Ku balas pelukannya yang sangat erat. Aku tau, Lucas sangat takut untuk kehilangan Raffa.
Xander menghampiriku dan mengusap pundakku. “Sabar yah sayang, Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik untuk Raffa.” Ucap Xander lembut.
Aku hanya mengangguk, dan masuk kembali ke ruang UGD untuk menemani Xing, dan Dokter Nicko.
Satu jam telah berlalu, namun semua tak bias lagi dilanjutkan. Raffa pergi menjemput ajalnya. Aku yakin ini memang yang terbaik untuk Raffa. Tapi berat untukku menerima kenyataan ini. Apalagi untuk Lucas. Raffa adalah saudara kandung Lucas satu-satunya. Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada Lucas?
“Lily, yang sabar yah… Maafkan saya…” Dokter Nicko menepuk pundakku pelan.
“Iya Dok, terima kasih telah melakukan yang terbaik buat Raffa selama ini.” Ucapku sambil meraih tangan Dokter Nicko yang masih menempel dipundakku.
“Yang sabar ya Lily… tabah… Semua akan berakhir indah. Tuhan masih punya rencana lain dibalik hari ini.” Xing pun ikut berusaha menyemangatiku.
Aku hanya bisa tersenyum tanpa bias berucap apapun. Xing dan Dokter Nicko pun keluar dari ruang UGD, disusul Lucas dan Xander yang masuk kedalam UGD.
“Kak Raffffaaaaa….” Lucas berlari menghampiri Raffa dengan tangis yang histeris.
Xander menghampiriku dan langsung memelukku. Ia tahu, hanya pelukannyalah yang sekarang aku butuhkan. Karena aku merasa tubuhku melemas. Jantungku serasa mulai lambat berdetak. Aku saja merasakan betapa terpukulnya dalam menerima kenyataan ini, bagaimana dengan Lucas?
“Yang kuat yah Sayang, tetap jadi Liliy yang selalu semangat.” Xander menghapuskan air mataku yang tak berhenti mengalir sejak tadi.
“Kakak Jahat! Kenapa Kakak tinggalin Lucas? Kakak JAHAT!” Lucas terus menangis histeris.
Xander melepaskan pelukannya padaku, lalu membawa Lucas keluar dari ruang UGD ini untuk menenangkannya dan memberinya pengertian atas kepergian Raffa. Sementara aku mengurus pemakaman jassad Raffa.
*****
Dihari pemakaman Raffa, Lucas masih ngotot ingin ikut ke pemakaman, padahal ia sudah beberapa kali pingsan. Tapi mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa mendampingi Kakaknya, sebelum ia tidak akan pernah bias bertemu lagi dengan Kakaknya.
“Semoga Kakak bahagia di surga, Lucas sayang Kakak…” Ucap Lucas sambil menaburkan bunga pada makam Raffa.
“Kita pulang yuk Sayang…” Ku genggam tangannya. Ku tuntun ia untuk jalan bersamaku dengan perlahan dan meninggalkan makam Lucas.
Aku, Lucas dan Xander pun pulang. Kini Lucas tinggal bersamaku. Ia tetap lanjut bersekolah seperti dahulu. Xanderlah yang membantuku membiayai Lucas sekolah. Aku akan menjaga dan merawat Lucas seperti pesan terakhirmu, Raffa. Tenanglah engkau dalam dekapan Tuhan.
Selamat tinggal Raffa... Walaupun pada akhirnya aku harus kehilanganmu untuk terakhir kalinya, tapi percayalah... Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kudapatkan. Walaupun pada akhirnya pertemuan ini harus berakhir dengan duka yang amat dalam. Tapi aku yakin, Tuhan mempunyai rencana yang indah... Baik untukku, Lucas dan engkau yang berada jauh disana :)
END
NO COPAS, NO EDIT NO BAJAAKKK!
DOSA TANGGUNG SENDIRI!
NISNIS
KERITIK, KOMENT DAN SARAN ditunggu :))
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar