Pages
Category list
- 100 Hari Jomblo (12)
- 3Playgirl Kambuhan (5)
- Aku dan Airmata (9)
- Be The Last Love (7)
- Cerbung RAISE (5)
- Cerpen (4)
- Cinta Rujak Bebek (14)
- Fanfiction Random CNBLUE (17)
- Fanfiction Random Couple (12)
- Gara-Gara Video Lipsing (3)
- Hyukstal Fanfiction (18)
- Progres Menulis (4)
- Spirit Of Love (26)
Senin, 14 Mei 2012
Just Show My Feeling
Cinta Pertama Masa SMA
Terik matahari dipenghujung pagi ini sangat menyengat. Aku berjalan dengan
langkah tertahan bersama Mama menuju sebuah ruangan. Mama masuk kedalam ruangan
yang bertuliskan "Ruang Kepala Sekolah" didepan pintunya, sementara aku menunggu
diluar. Setiap orang yang lewat dihadapanku menatap dan memandangku aneh. Mungkin
mereka asing menatapku, begitupun aku yang menatap mereka. Aku hanya berdiri
mematung layaknya gadis culun.
"Yuk dianter ke kelasnya." Terdengar suara laki-laki separuh baya yang tersenyum
kepadaku. Aku menatap Mama yang baru saja keluar dari ruangan itu bersama laki-laki
paruh baya itu. Mungkin ia kepala sekolahku yang baru.
“Namanya siapa?” Sapa Laki-laki paruh baya itu.
“Annis Raka Prianti.” Jawabku sambil tertunduk.
“Oh.. Kelas barunya X.3 ya…” Ucap laki-laki paruh baya itu lagi sambil mulai
mengajakku dan Mama berjalan kelas baruku.
Setelah sampai disebuah kelas berlabelkan X.3 aku pun dibimbing masuk kedalam
kelas itu bersama satu orang anak perempuan lain, dan ternyata dia adalah anak pindahan
sama sepertiku. Setelah masuk dan memperkenalkan diri masing-masing aku dan anak
pindahan yang bernama Sintia itu duduk dibangku belakang, dan saling berkenalan satu
sama lain. Kelas yang cukup menyenangkan menurutku, karena salah satu genk dikelas itu
mulai mendekatiku. Dan akhirnya dihari pertama itu aku bergabung kedalam genk dengan
nama THEYRA, Tika, Hilda, Evi, Yeni, Rara, dan anggota baru mereka aku, Annis. Mulai dari
ke kantin, hingga pulang sekolah selalu bersama.
Dihari kedua aku sekolah disini, aku melihat seorang anak laki-laki dengan sweater
merah muda yang masuk kedalam kelasku.
"Deg... Deg.. Deg..." Ku rasa itulah debaran jantungku kala itu. Aku terus
menatapnya, hingga Hilda mengagetkanku. "Eh Nis, liatin siapa?" Hilda ikut melirik kearah
pandanganku.
"Itu yang pake sweater pink siapa sih Nda?" Bisikku pada Hilda yang juga sedang
menatap anak laki-laki itu.
"Namanya Agung, dia anak sebelah, anak X.2. Kenapa Nis? Suka? Nanti Nda
salamin deh!" Ledekan Hilda padaku membuat muka ku memerah padam.
"Iya sih suka... Tapi dia orangnya baik gak yah Nda?" Aku terus menatap Agung
hingga ia keluar dari ruang kelasku.
"Agung anaknya baik kok, Soleh lagi... Kan dulu Nda satu SMP sama dia..." Ucap
Hilda sambil tersenyum menggodaku.
Tiba-tiba Hilda berjalan menaiki kursi disamping jendela dan mengeluarkan
kepalanya lalu berteriak agak kencang dari jendela.
"Gung! Sini deh... Minta nomer Agung cepet... Ada yang mau kenalan..." Suara
teriakan Hilda yang bisa didengar seisi kelas ini membuat jantungku berpacu cepat
lagi.Mungkin bunyinya bukan "dag... dig... dug..." lagi, tapi sudah "dhuar... dhuar...
dhuar..." alias sudah meledak. Berhasil gak yah Hilda dapetin nomer Agung? Aku terus
berharap-harap cemas.
"Bener nih nomernya? Awas bohong!" Ucap Hilda sambil memasukkan kembali
kepalanya dan turun dari kursi.
"Nih Nis, dapet nomernya! Catet cepet..." Ucap Hilda sambil memberikan
ponselnya padaku. Aku pun segera meraih ponsel itu dan menyalin nomer Agung
diponselku.
"Makasih yah Nda... Nih..." Aku mengembalikan ponsel Hilda.Saat aku sedang ingin
bertanya banyak hal tentang Agung, tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi. Kelas pun mulai
ramai, dan pelajaran pertama akan segera dimulai. Ku urungkan niatku tadi dan kembali
fokus belajar.
***
Malam harinya, aku memutuskan untuk mengirim pesan pendek (SMS) ke Agung.
Hanya mengirim SMS saja, jantungku sudah berdegup tak karuan. "Aduh Nis, lo kenapa
jadi deg-degan gini sih? Ayo dong jangan lebay!" Gumamku sambil menggenggam erat
ponselku. Tanganku gemetar diiringi dengan detakan jantung yang berdebar.
Akhirnya setelah berpikir dan menimbang-nimbang selama satu jam, aku pun
berhasil mengirim pesan pendek pada Agung. Tak lama Agung pun membalas dan
menanyakan aku siapa, dan lagi-lagi aku menjadi gugup tak karuan. "Jujur gak yah?
Masa iya Gue jujur? Tar kalo dia gak kenal gue gimana? Nyesek dong?" Gumamku sambil
mondar-mandir bagai orang bodoh yang sedang jatuh cinta.
"Apa gue bener-bener jatuh cinta sama Agung? Pandangan pertama? Cinta
pertama?" Aku terus memutar otakku untuk menemukan jawaban itu.Sebelumnya aku
tak pernah merasakan debaran jantung yang begitu menggelegar bagai ingin meledak.
Mataku tak bisa berpaling saat menatapnya, dan bahkan waktu serasa terhenti saat aku
bias menatap senyuman indahnya, senyuman yang mampu menggetarkan hatiku ini.
Aku langsung menelepon Hilda tentang jawaban apa yang harus aku berikan pada
Agung. Tapi dengan mudah Hilda menjawab "Jujur aja..." Ucapan Hilda yang ku dengar
lewat telepon memang terdengar sangat gampang, tapi pada kenyataan aku sangat takut.
Tapi setelah ku kumpulkan keberanianku, akhirnya dengan jujur ku sebutkan
namaku bahwa aku adalah Annis anak X.3. Dan ternyata tanggapannya begitu membuatku
bahagia tak terkira. Ternyata dia mengenaliku dan tahu bahwa aku anak baru atau lebih
tepatnya anak pindahan.
Dan semakin lama aku dan Agung pun semakin sering berhubungan lewat SMS.
Hingga dihari ketujuh aku kenal dekat dengannya, dan tepat tanggal 14 Februari itu. Entah
siapa yang memulai kami berdua saling jujur tentang perasaan kami berdua. Walaupun
dia hanya mengungkapkan perasaannya lewat SMS dan telepon, buatku itu sudah cukup
membuatku bahagia. Karena sejak awal, yang aku mau adalah dia. Tanggal 14 Februari
pun menjadi tanggal bersejarah untukku. Tanggal jadianku dengan Agung Gumilar.
***
Hari itu hari senin, dan pelajaran terakhirku adalah TIK (Teknologi Informasi dan
Komunikasi). Setelah selesai praktik di lab, aku dan teman-teman kelas X.3 diizinkan untuk
pulang duluan, karena praktik sudah selesai. Saat ku lirik jam tangan, ternyata setengah
jam lebih awal dari jam pulang biasanya. Awalnya aku ingin langsung pulang, tapi ternyata
Agung mengajakku bertemu setelah pulang sekolah. Aku yang sudah jalan sampai ujung
gang sekolahpun dengan perasaan bahagia dan bercampur deg-degan berjalan kembali
menuju gerbang sekolah. Walaupun lumayan jauh, tapi buatku jika untuk bertemu
dengannya, itu hanyalah bagai melangkah tiga jengkal penuh kebahagian. Bagaimana
bisa? Hanya orang yang sedang jatuh cintalah yang mampu menjawabnya.
Setelah menunggu setengah jam, akhirnya bel tanda pulang menghapuskan
kejenuhanku yang menunggu kekasih hatiku. Semua murid sudah berhamburan menuju
pintu gerbang, aku yang berdiri mematung sendiri di pintu gerbangpun mulai gugup.
Gugup dan tak sabar ingin bertemu dengannya. Tapi hingga hampir seluruh murid
sudah keluar dari gerbang, aku tak kunjung menemukannya. Ku putuskan untuk sambil
berjalan meninggalkan gerbang. Lima langkah sudah aku menjauh dari gerbang, ku tengok
kebelakang kearah pintu gerbang, dan berdirilah pangeran hatiku disana. Berdiri sedang
mencariku. Aku pun berhenti dan tersenyum kearahnya, ia pun berjalan menyusulku.
"Maap yah, udah lama nunggu Agung..." Agung mengulurkan tangannya kearahku
dengan napas yang sedikit terengah-engah.
Aku pun meraihnya dan menjawab "Iya gak apa-apa kok..." Ucapku dengan gugup.
Kini aku dan Agung pun berjalan berdampingan.
"Ih maap yah Agung gak ada motor... Jadi gak bisa nganter... Emang mau gitu sama
Agung?" Ucap Agung sambil terus berjalan disisiku.
"Ya ampun, gak apa-apa kali... Lagi juga gak mau ngerepotin Agung... Anis suka
Agung juga bukan karena motor kok..." Ucapku sambil terkekeh.
Tak terasa kami berdua sudah berada diujung gang. Agung pun menemaniku
menyebrang jalan untuk menunggu angkutan umum. "Mau dianterin sampe rumah gak?”
Tawarannya membuatku ingin melompat dan memeluknya karena rasa senang yang ku
rasakan sekarang. Tapi aku tidak mau dianggap manja atau semacamnya, lagipula hari
sudah sangat sore. Kalau Agung mengantarku sampai rumah, takut dia pulang kesorean,
karena memang rumahku sangat jauh, sedangkan rumah kami berada diarah yang
berlawanan.
"Gak usah deh Gung, jauh kan.. Takut nanti Agung pulangnya kesorean..." Ucapku
sambil berusaha sekuat tenaga menahan debaran jantung ini saat menatapnya.
"Oh... Yaudah hati-hati.. Tuh ada angkot..." Agung pun menyetop sebuah angkutan
umum untukku.
"Pulang duluan yah Gung." Ucapku sambil menaiki angkutan umum. Aku pun
pulang ke rumah dengan perasaan bahagia yang tak pernah ku bayangkan.
***
Hari demi hari terus aku lewati dengan perasaan tulus. Aku benar-benar mengerti
arti cinta pertama darinya. Hanya dialah yang mampu membuat jantung ini berdebar tak
wajar saat aku didekatnya. Hanya dialah yang mampu membuat nafasku terasa sesak saat
aku menatap senyumnya. Hanya dia yang mampu membuatku membisu, seakan mulutku
terkunci rapat karena suaranya yang merdu. Hanya Agung yang mampu membuatku
menjadi manusia terbodoh didunia. Tapi semua kebahagiaanku harus hancur, dan hanya
kurasakan dalam sepuluh hari. Hubunganku berakhir karena sebuah perbedaan kecil. Dan
permasalahan itu membesar hingga hubungan kami harus berakhir. Sakit memang, tapi
jika keputusan ini bisa membuatnya merasa lebih nyaman, aku akan terima semuanya.
Awalnya, aku ingin menjauh darinya, walaupun aku tahu ia mendekat. Tapi hatiku
selalu sakit saat menatap wajahnya. Rasa sakit akan kehilangan itu menyiksa batinku
yang tak mampu memilikinya. Aku terus mencoba melupakannya, namun yang ada
hanya ingatan tentang kenangan indah bersamanya yang semakin terbayang olehku.Jadi
biarkanlah aku simpan seluruh perasaan ini sendiri. Tanpa harus ia tahu, seberapa dalam
cintaku, seberapa tulus perasaanku, dan seberapa indah dirinya dimataku.
***
Satu tahun lebih telah berlalu, aku sudah mulai bisa melupakannya. Selain karena
IPA dan IPS yang berbeda jam sekolah, tapi juga karena aku dan dia hilang komunikasi
begitu saja. Di kelas XII ini, semua jurusan masuk pagi. Dan tentu saja aku dan Agung
mempunyai peluang kesempatan untuk sering bertemu. Dan dugaanku benar. Aku
sering berpapasan dengannya. Dan entah kenapa, tiap aku bertemu atau berpapasan
dengannya, debaran jantung yang dulu menemaniku tiap saat aku bertemu dengannya,
kini aku rasakan lagi. Tak ada yang berubah sedikitpun. Baik debaran jantung itu maupun
perasaan itu. Tapi entah mengapa sikapnya sangat cuek padaku.
Aku pun mulai memberanikan diri untuk bertanya langsung padanya tentang
sikap anehnya padaku. Namun, hanya jawaban menggantung yang ku terima. Disaat
aku bertanya mengapa sikapnya berbeda padaku, dia hanya menjawab "Karena Anis tuh
sombong! Arrogant sama gue!" Dan tut... Tut... Ia mengakhiri teleponnya. Disaat aku
menelepon balik, ia menghindar. Temannyalah yang mengangkat teleponku.
Sepanjang malam itu aku hanya bisa menangis, dan merenungkan arti ucapannya.
Seburuk itukah aku dimatanya? Sejahat itukah aku menurutnya? Jujur aku memang
terkesan jutek atau sombong hanya untuk menutupi perasaanku. Perasaanku yang masih
tertuju padanya. Debaran jantungku yang masih sama setiap aku menatapnya. Debaran
jantung yang sama sejak saat aku menatapnya. Debaran yang membuatku yakin, bahwa
dialah cinta pertama.
Tapi, sungguh aneh sikap Agung padaku dalam beberapa bulan belakangan.
Kadang tiba-tiba Agung meneleponku, menegurku duluan dan bahkan mau membantuku
saat aku membutuhkan bantuannya. Saat aku memintanya mengambil beberapa foto
panti asuhan, juga saat aku kehilangan dompetku, ia mau membantuku mencarinya. Tapi
kadang ia masih sering berubah tak menentu. Sikapnya kadang cuek tak menegurku.
Apakah harus aku yang menegurnya? Apakah harus seorang wanita yang selalu
memulai? Tak bisakah ia memahami perasaanku? Butuh keberanian ekstra bagiku untuk
menegurnya. Karena, hanya menatapnya dari kejauhan saja sudah membuatku spot
jantung dibuatnya.
Kadang aku ingin merasakan saat-saat berdua dengannya. Saat-saat dimana kita
bisa saling jujur tanpa harus ada yang ditutupi. Aku ingin tahu lebih banyak tentang cinta
pertamaku. Tapi sepertinya semua harapan itu harus sirnah. Karena akhir masa putih abuabu
sudah didepan mata. Dan jika masa itu berakhir, tiada lagi masa yang membuatku
bisa bertemu dengannya. Tidak akan lagi ku rasakan debaran jantung seperti saat aku
bersamanya... Tiada lagi canda tawa bersamanya, dan tiada lagi rasa gelisah ketika aku
berada didekatnya. Yang ada hanya air mata. Air mata karena harus berpisah dengannya,
air mata disaat aku merindukan kehadiran dan senyum menawannya, dan air mata saat
aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak bisa memilikinya.
Tapi aku takkan pernah menyesal telah memiliki perasaan yang sangat dalam
padanya. Aku juga tidak menyesal pernah merasakan sakit ataupun kecewa karena dia.
Tapi aku bersyukur karena dialah cinta pertamaku. Karena dia telah memberikanku
banyak kenangan indah selama aku mengenalnya. Kenangan yang tak akan pernah aku
lupakan walaupun aku telah jauh darinya. Karena aku percaya, sejauh apapun kita akan
melangkah dan walaupun itu tak sejalan... Suatu saat takdir akan mempertemukan kita
jika memang kita telah dijodohkan. Dan walaupun kini kita harus berpisah menjalani
kehidupan masing-masing, tapi ketahuilah... Bahwa dirimu adalah salah satu hal yang
paling berharga dalam hidupku. Tak perlu jawaban atau balasan darimu. Cukup izinkan
aku untuk terus mencintai dan mengenalmu. Karena engkaulah cinta terindah dan
pertamaku, Agung Gumilar.
Spirit Of
Mother Love
Penulis : Annis Raka Prianti
Aku
menatap jam dinding kamarku yang menunjukkan pukul 3 sore. Sore ini hujan turun
sangat lebat. Suara petir yang menggema bagai suara hatiku yang sedang meronta.
Suara petir sangat terdengar mengerikan. Jalan raya terlihat sangat sepi. Aku
memandang jalan raya yang licin karena basah oleh gemercik air hujan.
"Aku
bukan siapa-siapa... Aku tak pantas punya cita-cita!" Aku merobek semua
cerpen yang terjilid rapih dengan lirnangan air mata.
Aku
mengingat kembali semua usaha dan perjuanganku dalam menerbitkan sebuah cerita
fiksi yang aku buat sejak empat bulan lalu. File yang berisi naskah ini sempat
hilang tiga bulan lalu, saat ponselku hilang. Dan tentu saja naskah novel yang
sudah dua bulan aku kerjakan itu harus kuulang dari awal. Belum lagi usahaku
yang dating jauh-jauh ke redaksi Gagasmedia di Jakarta, awalnya hampir terbit,
tapi karena penolakan dari manager, redaksi itu gagal menerbitkan buku itu.
Belum lagi aku sampai bolos sekolah hanya untuk datang ke Mampang, Mama pun
hingga berbohong pada Ayah saat aku ke Jakarta
untuk meminta izin penerbitan buku, tapi malah mendapat pengunduran penerbitan.
Sakit? Kecewa? Hancur? Tentu saja!
"Salahkah
aku memperjuangkan cita-citaku Ya Allah..." Butiran air mata ku terus
mengalir. Aku memeluk sobekan kertas yang tertulis semua cerpen buatanku.
"DUKK
DUKK" Aku menghempaskan kepalaku dengan keras ketembok dengan sambil terus
menangis.
"Ya inilah rasanya menjadi
pemimpi! Rasakan ini bodoh!" aku terus membenturkan kepalakuketembok."Kakak sayang gak apa-apa kan?" Mama mengetuk pintu kamarku.
"Gak
apa-apa Ma, cuma pusing." Aku berbohong agar Mama tidak khawatir. Aku
sangat menyayangi Mamahku. Selama ini aku memperjuangkan cita-citaku pun demi
Mama.
Aku
tidak mau mengecewakan Mama. Aku takut Mama sedih akan berita penolakan naskah
novelku yang aku kirimkan pada management sebuah Boy Band yang sedang naik daun
itu. Walaupun lebih tepatnya bukan penolakan, melainkan pengunduran izin
penerbitan, tapi tetap saja rasa sakit dan kecewa yang aku rasakan ini pasti
juga membuat Mama sedih. Aku memutuskan untuk memendam semua ini sendiri,
sampai aku memutuskan untuk mencari inspirasi lain selai Boy Band itu.
Saat aku sedang terdiam dan termenung, tiba-tiba Mama masuk ke kamarku dan
melihat aku menangis. Karena Mama sudah telanjur melihatku menangis aku pun
berlari menghampiri Mama yang masih berdiri diujung pintu. Aku menangis memeluk
Mamaku.
"Maafin
Annis yah belum bisa nepatin janji Annis. Annis belum bisa bahagiain Mama,
belum bisa membuat Mama bangga!" Air mataku menetes. butiran bening air
mata ini mengalir perlahan membasahi pipiku. Mama hanya tersenyum membelai
rambutku.
"Kakak
sudah membuat Mama bangga sayang, perjuangan kakak selama ini udah cukup buat
Mama bahagia. Kamu punya niat untuk bahagiain Mama aja, Mama sudah bangga sama
kakak. Mungkin sekarang belum waktunya, lebih baik belajar yang rajin, suatu
saat semua akan indah pada waktunya, cita-citamu akan tercapai sayang. Mama
selalu doain yang terbaik buat anak Mama." Mama memelukku dan menghapuskan
butiran air mataku yang menggantung di pipiku yang mengembung.
“Iya, yang penting sekarang belajar
yang rajin. Buat Mama bangga dengan hal yang lain. Semua pasti ada jalannya.”
Ucap Mama sambil tersenyum dan menghapus air matanya yang ikut mengalir.*****
Seminggu telah berlalu, aku pun mulai bangkit dari kegagalan yang ku terima. Aku mendapat sebuah inspirasi baru dari sebuah Boy Band yang beranggotakan 5 orang personil yang sangat baik dan ramah, mereka adalah DRAGON BOYZ.
Dengan mudah aku mendapat izin penerbitan novel tentang mereka. Bahkan salah satu personil langsung mendukung penuh ide penulisan ceritaku. Dengan semangat baru, aku pun bangkit dari kegagalan masa lalu
Aku
menulis naskah setebal 130halaman hanya dalam waktu dua minggu. Tanpa ada
persiapan apapun sebelumnya, ide-ide itu muncul seiring dengan semangat
menulisku. Semangatku dating dari dukungan orang-orang yang menyayangiku.
Mamahku selalu berdoa untukku, mendukung semua yang aku lakukan. Meng-supportku
untuk terus berusaha. Hingga kini mimpi dan cita-citaku tiba dihadapanku.
Tanggal 29 Desember buku pertama ku terbit. Novel yang berjudul “Love You? No
More!”.
Belajar dari sebuah kegagalan dan berusaha dari kekurangan yang kita rasakan
adalah kuci yang tepat untuk meraih kesuksesan. Dan tentu saja diiringi dengan
restu dan doa yang tulus dari sang Ibu. Aku merasakan jalan kemudahan yang
diberikan oleh Tuhan setelah aku mencuci kedua telapak kaki Mamahku, lalu ku
cuci mukaku dengan air cucian kaki Mama itu. Darisanalah aku diberi jalan yang
indah oleh Tuhan hingga sekarang.
Dan
sampai sekarang, Mamah ku pun terus mendukungku. Rela mengantarku kesana dan
kesini, selalu berdoa untukku, dan bahkan telah siap membantuku mempromosikan
buku ku. Bahkan beliau sempat rela menjual anring emasnya demi memberiku modal
untuk menjual Novelku.
Dari
sinilah aku belajar arti ketulusan dan kesucian doa Ibu. Ia selalu bilang,
jangan pernah bermimpi terlalu tinggi. Tapi dengan ini aku membuat sebuah kata
yang memotivasiku selama ini, yang aku harap juga bias memotivasi kalian para
pembaca, bahwa…
“Mimpi itu indah, apalagi jika kita bisa mewujudkannya. Jadi jangan pernah takut untuk bermimpi dan jangan pernah berhenti untuk berusaha mewujudkannya. Karena tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tidak ada kata mustahil jika kita punya niat, tekad dan keinginan yang kuat."
Sayangilah Ibumu, jaga dan rawatlah Ibumu. Kita takan pernah ada jika ia tidak ada. Kita tidak akan bias merasakan indahnya dunia, jika ia tidak lahir ke dunia, kita pun tidak bias merasakan kebahagiaan meraih kesuksesan jika tanpa doanya.
*****
SAHABATKU, Raffa :)
SAHABATKU, Raffa :)
Judul : SAHABATKU, Raffa
Penulis : Annis Raka Prianti
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Rintik hujan yang mengguyur disore ini bagai alunan musik pemecah hening dilangit yang hampir gelap. Semakin lama, semakin banyak air hujan yang berebut turun ke bumi. Suaranyapun semakin jelas terdengar. Aku terbawa suasana dan hawanya yang dingin menyejukkan. Aku teringat seseorang yang selalu mengajakku bermain dikala hujan turun. Menyanyi dan berlarian layaknya film bollywood kebanyakan. Aku berlari dan bernyanyi dengan seorang pria yang sangat tampan dibawah rintik hujan. Saat berlari aku pun terpeleset dan hampir jatuh, tapi pria tampan itu menangkapku dan menahanku dalam dekapannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara cempreng yang memecah telingaku.
"Lily?!" Suara yang merdu dan menusuk gendang telinga itu membuyarkan lamunanku. Suaranya terdengar sangat merdu hingga hampir memecahkan gendang telingaku.
"Ah... Xing... Bisa gak sih gak ngeganggu gue pas ngelamun?!" Aku menatap Xing dengan kesal dan dengan bibir yang mengerucut panjang.
"Sorry, tapi kali ini gawat. Ada pasien UGD tuh! Cepet kita bantuin dokter Nicko!" Xing menarik tanganku untuk berlari mengikuti langkah cepat dan panjangnya. Aku pun ikut berlari dengannya menuju ruang UGD.
*****
Satu jam sudah aku dan Xing membantu dokter Nicko mengoperasi pasien ini. Sekilas aku menatap wajah pasien yang sedang memakai masker ini. Aku merasa pernah melihatnya, bahkan merasa seperti mengenalnya. Tapi saat aku sedang melayang dengan isi kepalaku, lagi-lagi Xing mengagetkanku.
"Lily, kata dokter Nicko ambil gunting!" Bisik Xing ditelingaku.
"Ah Iya Dok..." Aku langsung mengambil gunting yang dimaksud Dokter Nicko, dan kembali fokus membantu Dokter Nicko menyelesaikan Operasi ini.
*****
Tiga puluh menit kemudian, operasi pun selesai. Pasien telah dibawa ke ruang ICU karena kondisinya yang masih koma.
"Tadi pasien itu sakit apa sih Xing?" Tanyaku sambil melepas seragam operasi.
"Kanker tulang... Kasian deh, masih muda tapi 50% organ tubuhnya udah gak berfungsi... Dia kayaknya seumuran sama kita." Jawaban Xing tiba-tiba saja membuatku merinding. Tubuhku serasa kaku. Aku jadi terbayang seandainya aku yang diposisi pasien itu... Ahh tubuhku lagi-lagi bergidik dan bergetar merinding.
"Woy Lily? Kok bengong sih?! Kebiasaan lo ah melamun mulu!" Ucap Xing sambil mencubit pipiku gemas. Mungkin untuk menyadarkanku dari lamunanku yang menyeramkan itu.
"Yah... Gue gak kebayang aja andai gue diposisi dia..." Aku melipat kedua tanganku diatas meja dan meletakan kepalaku diatasnya. Tubuhku terasa lemas akibat lamunanku tadi.
"Yaudah, daripada melamun mending check kondisinya sana! Sebelum dokter cadel itu marah lagi." Ucap Xing sambil menyerahkan pulpen dan selembar kertas data pasien.
"Namanya Dokter Nicko! Bukan dokter cadel! Biar cadel gitu juga ganteng tau!" Aku mengambil kertas dan pulpen itu lalu berjalan meninggalkan Xing dan menuju kamar pasien.
*****
Sebelum masuk ruang ICU itu aku melihat seseorang yang tak asing untuk dilihat baru keluar dari ruang ICU itu.
"Lucas? Kamu ngapain disini Dek?" Tanyaku pada Lucas yang terlihat murung. Matanya sembab, raut wajahnya murung dan frustasi. Sepertinya dia sedang mengalami sesuatu yang menyiksa batin dan pikirannya.
"Kak Lily? Kakak ngapain disini?!" Bukan jawaban yang ku dapat, tapi malah sebuah pertanyaan yang berbalik ditanyakan oleh Lucas.
"Aku suster disini Dek, kamu sendri? Kamu kenal pasien yang didalam?" Aku mulai melirik kedalam kamar ICU itu.
"Kak, yang didalam itu Kak Rafael..." Suara Lucas terdengar lirih saat menyebut nama Kakaknya. Dengan panik namun sigap, aku segera membaca data pasien dalam selembar kertas itu Rafael Landry Tanubrata, 21 tahun.
"Tidak, tidak mungkin ini Rafael sahabatku!" batinku. Aku langsung masuk kedalam kamar ICU itu, dan segera menuju sisi ranjang tempat Rafael berbaring.
"Rafael?!" Pekikku.
"Jadi pasien yang terkena Kanker Tulang itu kamu?!" Tanpa sadar air mataku yang sejak tadi mendesak ingin keluar sudah tumpah dan mengalir perlahan mengikuti lekukan pipiku yang mengembung.
"Iya Kak... Itu Kak Rafael... Oya, apa Kakak punya waktu luang? Ada yang mau aku ceritain. Lima belas menit aja..." Pinta Lucas dengan raut wajah memelas. Kentara sekali ia ingin aku menjawab iya. Karena raut wajahnya yang memelas itu memaksaku untuk menuruti permintaannya.
"Iya, tapi setelah Kakak cek keadaan Kakak kamu dulu yah..." Sahutku sambil menghapus sisa-sisa air mataku yang masih menggantung diatas pipiku yang mengembung.
"Oke, aku tunggu diluar yah Kak..." Lucas pun keluar dari kamar ICU dengan langkah perlahan sambil terus menoleh kearah Kakaknya yang sedang berbaring tak sadarkan diri.
Aku pun memeriksa detak jantung, dan hembusan nafasnya pertiga puluh detik. Setelah selesai, aku mencoba kembali menatap wajah sahabat lama yang tak ku temui sejak 3tahun lalu itu. Telah lama tak bertemu dengannya, kini aku menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Harusnya aku bisa mendengarkan kisah-kisah jenakanya seperti 3 tahun lalu. Karena hanya cerita-cerita jenakanya yang selalu mampu menghiburku dulu.
"Sejak tiga tahun lalu aku memang sempat membencimu yang sempat tak menepati janjimu dihari spesialku... Tapi saat ini, melihatmu dengan keadaan seperti ini... Rasa benci itu musnah, Raff... Cepet sadar yah, cepet sembuh..." Ucapku sambil mengecup kening Raffael dan menatapnya sesaat sebelum aku meninggalkannya di kamar ICU ini. Aku pun merapihkan selimut Raffael, lalu keluar untuk menemui Lucas.
"Gimana keadaan Kak Raffa?" Tanya Lucas dengan panik ketika aku keluar dari kamar ICU tempat Kakaknya dirawat.
"Kakak gak bisa jawab, karena Kakak juga gak tau... Kita cuma bisa berdoa... Oya, kamu mau ngomong apa Dek?" Dustaku. Sebenarnya masih tidak ada perkembangan pada Raffael pasca operasi. Tapi aku tak mau membuat Lucas semakin sedih lagi.
"Kak inget tiga tahun lalu saat ulang tahun Kakak ke 18? Kak Raffa gak dateng kan? Kak Raffa bukannya gak mau nepatin janji Kak, tapi gejala penyakit Kak Raffa timbul dihari itu... Waktu Kak Raffa mau nyebrang, tiba-tiba kaki Kak Raffa gak bisa digerakin... Kecelakaan pun gak bisa dicegah... Kak Raffa keserempet motor Kak... Setelah check up ke rumah sakit, Kak Raffa difonis Mengidap penyakit Kanker Tulang. Perlahan dan secara bertahap organ tubuh Kak Raffa akan berhenti berfungsi Kak... Dan ditahun ketiga ini, sudah 60% organ gerak tubuh Kak Raffa udah gak berfungsi..." Ungkap Lucas dengan lirnangan air matanya.
Tanpa sadarpun, ternyata air mataku telah tumpah dan tak terbendung lagi. Sesak dadaku rasanya. Hatiku terasa tersayat. Menyesal, Kesal dan aku merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. Ternyata rasa benci yang tumbuh selama ini hanya salah paham belaka. Aku menyesal karena telah membencinya. Kesal karena telah membiarkan rasa benci itu tumbuh selama tiga tahun. Aku merasa jadi manusia paling bodoh karena tidak pernah berusaha mencarinya dan meminta penjelasan darinya.
"Kak? Maafin aku yah udah buat Kakak sedih..." Lucas mengulurkan sapu tangannya padaku. Tapi aku hanya tersenyum tipis. Aku beranjak dari dudukku dan berdiri dihadapannya.
"Yang penting sekarang, kita terus berdoa buat kesembuhan Kak Raffa... Kakak gak sedih kok, kamu juga jangan sedih yah. Percaya aja, kalo Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk semua umatnya..." Ucapku berusaha menguatkan Lucas yang saat ini terlihat sangat rapuh.
"Iya Kak... Kakak jangan marah sama Kak Raffa lagi ya?" Ucapan Lucas membuat jantungku berhenti berdetak sesaat. Ucapannya seperti sebuah hantaman yang jatuh tepat dijantungku. Kesalahan terbesarku memanglah membencinya. Aku memang menyesal, bahkan sangat menyesal.
"Gak kok... Kamu udah makan?" Tanyaku berusaha mencairkan suasana yang sudah membuatku tegang ini.
"Belum, aku mana bisa makan, sementara didalam... Kak Raffa sedang berjuang untuk hidup." Jawabnya. Lucas menatap Raffa dari luar pintu.
"Tapi kamu harus makan, kalo gak nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, siapa yang jagain Kak Raffa? Kan cuma kamu yang Kak Raffa punya saat ini. Ikut Kakak yuk, kita cari makanan!" Aku mengulurkan tanganku. Lucas pun meraihnya. Aku dan Lucas pun pergi menuju kantin rumah sakit setelah aku menyerahkan data Raffa pada dokter Nicko.
*****
Saat sedang menemani Lucas makan, tiba-tiba Xing meneleponku.
"Aduh Xing, bisa gak sih lo tuh gak ganggu gue pas gue lagi tenang? Kalo mau ganggu tuh cari waktu yang pas!" Aku berceloteh tanpa mendengarkan Xing bicara lebih dulu.
"Apa?! Oke, gue kesana sekarang! Thanks yah, kali ini lo ganggu gue tapi buat gue seneng!" Aku mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon dengan sebuah senyum yang menghiasi bibirku.
"Kenapa Kak?" Sambil terus makan, Lucas bertanya dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin dia bingung melihatku yang tadinya marah-marah saat mengangkat telepon, tapi tiba-tiba sekarang tersenyum setelah menerima telepon.
"Kak Raffa udah sadar! Cepet kamu abisin makannya, dan kita temuin Kak Raffa." Ajakku penuh antusias. Lucas tersenyum lebar. Kentara sekali ia merasa lega dan bahagia. Tanpa menjawab Lucas pun segera menghabiskan makanannya.
*****
"Xing, gimana pasiennya?" Bisikku pada Xing yang sedang mencatat data Raffa yang sedang diperiksa oleh dokter Nicko.
"Sedikit ada peningkatan walaupun sedikit." Jawabnya balik berbisik.
"Ah... Adik keluarga pasien kan? Bisa panggil orang tua Adik untuk kesini?" Dokter Nicko menatap Lucas denan tatapan serius. Aku pun ikut menatap Lucas yang terlihat bingung harus menjawab apa.
"Dok, mereka berdua udah gak punya orang tua..." Jawabku spontan.
"Iya Dok, biaya operasi saja boleh hasil sumbangan..." Sambung Lucas dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ah maaf... Tapi ada hal penting yang harus dibicarakan..." Gumam Dokter Nicko dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Saya saja Dok, saya sahabatnya dari kecil.. Jadi mereka sudah seperti keluarga saya sendiri." Pintaku dengan wajah yang memelas. Aku tatap Dokter Nicko dalam-dalam. Semoga saja ini mampu menghipnotisnya.
"Baiklah, Lily ikut saya ke ruangan. Xing, temani Adik pasien ya..." Ucap Dokter Nicko sambil berjalan meninggalkan kamar ICU.
"Lucas sini dulu yah... Nanti Kakak balik lagi." Ucapku sebelum pergi menyusul dokter Nicko yang sudah keluar Kamar ICU.
*****
"Tangan pasien sudah bisa digerakan, tapi pada bagian kaki masih tidak bisa digerakan. Penglihatan pun mulai memudar. Dengan kata lain 35% organ tubuh pasien masih tidak berfungsi. Dan operasi tadi hanya mampu mengurangi 20% fungsi dari organ tubuh pasien." Jelas Dokter Nicko dengan raut wajah cemas. Terlihat sekali kalau Dokter Nicko pun cemas dan khawatir pada pasiennya.
"Jadi apa ada usaha lain untuk mencegah penurunan fungsi organ tubuh pasien? Pasien bisa sembuh kan Dok? Dokter Nicko kan Dokter hebat, pasti bisa kan Dok?" Dengan lirnangan air mata aku mengamuk dan menangis. Apa yang harus aku katakan pada Lucas nanti, jika ia menanyakan keadaan Kakaknya?
"Maafkan saya Lily, tapi belum ada satupun Dokter didunia yang mampu menekan obat mujarab penyembuh Kanker Tulang. Operasi dan obat-obatan semahal apapun hanya memperlambat usia pasien saja... Saya harap kamu mengerti, dan bisa menerima masalah ini dengan sabar dan ikhlas." Dokter Nicko menghapuskan air mataku dengan jemari lembutnya.
*****
Aku menyeret kakiku dan melangkah pelan menuju kamar ICU. Bumi terasa runtuh, dan semua isinya serasa ada dikepalaku sekarang. Terasa berat dan sangat menyiksa. Apa yang harus aku jelaskan pada Lucas? Kenapa semua harus terjadi secepat ini?
"Lily?!" Xing berteriak tepat ditelingaku.
"Aaaahh! Xing! Bisa gak sih lo gak ngagetin gue sekali aja! Tiap hari nyawa gue tuh terancam cuma gara-gara lo!" Bentakku pada Xing.
"Ah lebay lo! Lagian tiap waktu dan dimanapun bengong mulu! Gak baik tau... Lo ada masalah?" Xing mengangkat daguku dan menatap wajahku yang memang sedang sendu.
"Yah... Gitulah... Gue belum bisa cerita. Gue duluan ya..." Aku pun pergi meninggalkan Xing untuk menjenguk Raffa dan menemui Lucas.
*****
"Hay..." Sapaku pada Raffa yg sedang terbaring lemah.
"Kak, gimana keadaan Kak Raffa?" Terlihat sebuah senyum simpul diwajah Lucas. Dan aku tak mau menghapusnya. Aku tidak mau merusak kebahagiaannya.
"Kondisi Kakak kamu membaik, Kak Raffa pasti nanti sembuh." Dustaku pada Lucas. Maafkan aku Tuhan, aku hanya tak ingin menghancurkan kebahagiaannya saat ini.
"Tuh Kak denger kan kata Kak Lily? Kakak pasti sembuh!" Ucap Lucas penuh antusias.
"Lily? Lily Afrianti?" Raffa memutar bola matanya berusaha mencariku. Padahal kini aku tepat berada disampingnya. Ternyata penglihatannya benar-benar memburuk.
"Iya Raffa, ini aku." Kuraih tangannya yang tersambung jarum infus. Ya Tuhan, aku sungguh tidak tega melihat keadaan Raffa seperti ini. Aku semakin merasa bersalah dan menyesal telah menjauhinya. Harusnya aku bisa berada disisinya saat keadaannya seperti ini.
"Sejak kapan kamu ada disini?! Pergi!" Raffa melepas paksa genggaman tanganku.
"Kakak..." Lucas berusaha menenangkan Raffa.
"Pergi! Pergi Lily!" Raffa berteriak histeris seperti tak menerima keadaanku disini. Apakah wajahku menyeramkan? Apakah aku menakutkan? Mengapa Raffa begitu histeris? Mengapa dia memintaku pergi?
"Raffa... Ini aku Lily... Gak mungkin kan kamu lupa?" Aku semakin mendekat pada Raffa. Ku genggam dan ku ciumi tangannya.
"Pergi! Dokter tolong!" Raffa semakin histeris dan meronta menolak kehadiranku.
"Kakak, please keluar yah Kak..." Pinta Lucas dengan wajah memohon. Lucas pun menangis melihat keadaanku.
Akhirnya dengan berat hati aku pun pergi keluar kamar ICU, meninggalkan Raffa dan Lucas. Jika memang Raffa tak menginginkan kehadiranku, aku harus bisa menerimanya. Aku pantas menerima ini, karena dulu pun aku sempat menolak kehadirannya dihidupku. Tapi sesakit inikah rasanya ditolak? Sesak dan perih. Tapi aku tak ingin membuat keadaan Raffa memburuk karena kehadiranku. Aku memang harus pergi.
*****
Aku terduduk dan terdiam dalam sendu. Bagai pohon tua yang ranting dan dahannya telah rapuh, daun kering dan berguguran. Dan siap ambruk ditiup angin yang akan menerjang. Rasa perih ini tak terhankan. Aku terduduk terdiam selama satu jam dengan lirnangan air mata yang seakan tak pernah ada habisnya.
"Kakak?" Kali ini bukan suara Xing yang mengagetkanku. Suara Lucas yang terdengar Lirih lah yang membuatku tersadar dari renunganku.
"Ya Lucas?" Kuhapus lirnangan air mataku sebelum aku menatap Lucas.
"Maafin Kak Raffa yah Kak... Kak Raffa cuma malu sama keadaannya yang sekarang. Kak Raffa cuma gak mau Kakak liat Kak Raffa seperti sekarang. Aku yakin, sebenernya Kak Raffa seneng akhirnya bisa ketemu Kakak lagi..." Lucas menghapuskan air mataku yang terus mengalir.
"Kakak ngerti kok... Makasih ya sayang." Aku berusaha tersenyum pada Lucas.
"Tapi sekarang, Kak Raffa udah mau ketemu Kakak kok. Aku udah bujuk Kak Raffa. Kakak jangan sedih lagi ya..." Senyuman Lucas yang terlihat sangat polos dan penuh rasa gembira itu telah membuat hatiku lega.
"Bener? Makasih yah Dek." Ku cium keningnya, lalu beranjak dari dudukku dan masuk kedalam kamar ICU Raffa.
"Raffa..." Ku langkahkan kakiku dengan perlahan mendekatinya.
"Bukannya kamu udah gak mau ketemu aku lagi?! Mau apa lagi sekarang?" Tanya Raffa dengan nada ketus.
"Maafin Aku Raff, waktu itu aku kira kamu sengaja gak nepatin janji kamu dihari ulang tahun aku. Tapi ternyata, semua diluar kendali kamu. Maaf Raff." Ku genggam tangan Raffa. Ku lihat butiran bening mulai mengalir dari bola mata Raffa yang mulai hilang fungsinya.
"Tapi kenapa baru sekarang? Kamu lihat keadaanku sekarang? Menyedihkan bukan?! Aku tau, kamu pasti lagi ketawa dan bahagia liat aku sekarang!" Ucap Raffa dengan lirnangan air matanya yang terus mengalir, seiring dengan air mataku yang mengalir.
“Raffa, STOP! Raffa dengerin aku!” Aku menarik kepala Raffa menghadapku dengan perlahan, walau aku tau itu tak terlalu berpengaruh baginya karena penglihatannya yang memudar.
“Aku memang bahagia, bahagia bias bertemu kamu lagi dan bias mengerti atas kesalahpahaman yang dulu pernah terjadi. Dan aku memang sedih, kenapa semua ini harus terjadi dengan sahabat yang sangat aku sayangi.” Ku peluk Raffa dengan erat. Entah berapa banyak air mataku yang mengalir, kurasakan lirnangan air hangatpun mengalir dipundakku. Raffa juga menangis dalam pelukanku.
“Maaf Lily… Aku cuma malu sama kamu, aku malu kamu lihat aku menderita seperti ini…” Raffa pun mulai membalas pelukanku.
“Aku sayang kamu Raffa… bertahanlah, semua pasti bias teratasi. Tuhan punya rencana yang indah untuk kamu.” Aku berusaha menyemangatinya, dan menjadi Lily yang dulu. Lily yang selalu ada untuk Raffa. Baik suka maupun duka, menerima semua kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
“Kalau aku pergi nanti, boleh aku titip Lucas sama kamu?” Ucap Raffa pelan, seperti rintihan.
“Haha… Ngomong apa sih kamu?! Kamu pasti sembuh kok! Sekarang istirahat yah, aku mau nengok pasien yang lain.” Ucapku berusaha tak membuatnya down lagi. Aku mencium kening Raffa sebelum meninggalkannya sendiri di kamar ICU.
*****
Seminggu sudah Raffa dirawat disini, kondisinya bukan semakin membaik tapi semakin menurun. Dokter Nicko pun hanya bias menunggu takdir dari Tuhan. Kami semua hanya bias berdoa. Lucas pun hanya bias menahan tangisnya tiap kali menjenguk Kakaknya. Kini Lucas mulai tinggal dengan Xander, pacarku sejak SMA. Kondisi Raffa semakin menurun drastic, hingga hari ini ia harus masuk UGD.
“Gimana keadaan Raffa?” Xander menghampiriku yang baru saja keluar dari ruang UGD. Hari ini Xander tak hanya mengantar Lucas menjenguk Raffa, tapi ia juga ikut kedalam dan menjenguk Raffa.
“Kak, apa aku masih punya banyak kesempatan buat ketemu Kak Raffa? Aku pengen bias main lagi sama Kak Raffa…” Lucas menangis terisak memelukku.
“Sabar yah sayang, Dokter lagi berusaha menyelamatkan Kak Raffa, kita bantu doa yah…” Ku balas pelukannya yang sangat erat. Aku tau, Lucas sangat takut untuk kehilangan Raffa.
Xander menghampiriku dan mengusap pundakku. “Sabar yah sayang, Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik untuk Raffa.” Ucap Xander lembut.
Aku hanya mengangguk, dan masuk kembali ke ruang UGD untuk menemani Xing, dan Dokter Nicko.
Satu jam telah berlalu, namun semua tak bias lagi dilanjutkan. Raffa pergi menjemput ajalnya. Aku yakin ini memang yang terbaik untuk Raffa. Tapi berat untukku menerima kenyataan ini. Apalagi untuk Lucas. Raffa adalah saudara kandung Lucas satu-satunya. Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada Lucas?
“Lily, yang sabar yah… Maafkan saya…” Dokter Nicko menepuk pundakku pelan.
“Iya Dok, terima kasih telah melakukan yang terbaik buat Raffa selama ini.” Ucapku sambil meraih tangan Dokter Nicko yang masih menempel dipundakku.
“Yang sabar ya Lily… tabah… Semua akan berakhir indah. Tuhan masih punya rencana lain dibalik hari ini.” Xing pun ikut berusaha menyemangatiku.
Aku hanya bisa tersenyum tanpa bias berucap apapun. Xing dan Dokter Nicko pun keluar dari ruang UGD, disusul Lucas dan Xander yang masuk kedalam UGD.
“Kak Raffffaaaaa….” Lucas berlari menghampiri Raffa dengan tangis yang histeris.
Xander menghampiriku dan langsung memelukku. Ia tahu, hanya pelukannyalah yang sekarang aku butuhkan. Karena aku merasa tubuhku melemas. Jantungku serasa mulai lambat berdetak. Aku saja merasakan betapa terpukulnya dalam menerima kenyataan ini, bagaimana dengan Lucas?
“Yang kuat yah Sayang, tetap jadi Liliy yang selalu semangat.” Xander menghapuskan air mataku yang tak berhenti mengalir sejak tadi.
“Kakak Jahat! Kenapa Kakak tinggalin Lucas? Kakak JAHAT!” Lucas terus menangis histeris.
Xander melepaskan pelukannya padaku, lalu membawa Lucas keluar dari ruang UGD ini untuk menenangkannya dan memberinya pengertian atas kepergian Raffa. Sementara aku mengurus pemakaman jassad Raffa.
*****
Dihari pemakaman Raffa, Lucas masih ngotot ingin ikut ke pemakaman, padahal ia sudah beberapa kali pingsan. Tapi mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa mendampingi Kakaknya, sebelum ia tidak akan pernah bias bertemu lagi dengan Kakaknya.
“Semoga Kakak bahagia di surga, Lucas sayang Kakak…” Ucap Lucas sambil menaburkan bunga pada makam Raffa.
“Kita pulang yuk Sayang…” Ku genggam tangannya. Ku tuntun ia untuk jalan bersamaku dengan perlahan dan meninggalkan makam Lucas.
Aku, Lucas dan Xander pun pulang. Kini Lucas tinggal bersamaku. Ia tetap lanjut bersekolah seperti dahulu. Xanderlah yang membantuku membiayai Lucas sekolah. Aku akan menjaga dan merawat Lucas seperti pesan terakhirmu, Raffa. Tenanglah engkau dalam dekapan Tuhan.
Selamat tinggal Raffa... Walaupun pada akhirnya aku harus kehilanganmu untuk terakhir kalinya, tapi percayalah... Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kudapatkan. Walaupun pada akhirnya pertemuan ini harus berakhir dengan duka yang amat dalam. Tapi aku yakin, Tuhan mempunyai rencana yang indah... Baik untukku, Lucas dan engkau yang berada jauh disana :)
END
NO COPAS, NO EDIT NO BAJAAKKK!
DOSA TANGGUNG SENDIRI!
NISNIS
KERITIK, KOMENT DAN SARAN ditunggu :))
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Penulis : Annis Raka Prianti
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Rintik hujan yang mengguyur disore ini bagai alunan musik pemecah hening dilangit yang hampir gelap. Semakin lama, semakin banyak air hujan yang berebut turun ke bumi. Suaranyapun semakin jelas terdengar. Aku terbawa suasana dan hawanya yang dingin menyejukkan. Aku teringat seseorang yang selalu mengajakku bermain dikala hujan turun. Menyanyi dan berlarian layaknya film bollywood kebanyakan. Aku berlari dan bernyanyi dengan seorang pria yang sangat tampan dibawah rintik hujan. Saat berlari aku pun terpeleset dan hampir jatuh, tapi pria tampan itu menangkapku dan menahanku dalam dekapannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara cempreng yang memecah telingaku.
"Lily?!" Suara yang merdu dan menusuk gendang telinga itu membuyarkan lamunanku. Suaranya terdengar sangat merdu hingga hampir memecahkan gendang telingaku.
"Ah... Xing... Bisa gak sih gak ngeganggu gue pas ngelamun?!" Aku menatap Xing dengan kesal dan dengan bibir yang mengerucut panjang.
"Sorry, tapi kali ini gawat. Ada pasien UGD tuh! Cepet kita bantuin dokter Nicko!" Xing menarik tanganku untuk berlari mengikuti langkah cepat dan panjangnya. Aku pun ikut berlari dengannya menuju ruang UGD.
*****
Satu jam sudah aku dan Xing membantu dokter Nicko mengoperasi pasien ini. Sekilas aku menatap wajah pasien yang sedang memakai masker ini. Aku merasa pernah melihatnya, bahkan merasa seperti mengenalnya. Tapi saat aku sedang melayang dengan isi kepalaku, lagi-lagi Xing mengagetkanku.
"Lily, kata dokter Nicko ambil gunting!" Bisik Xing ditelingaku.
"Ah Iya Dok..." Aku langsung mengambil gunting yang dimaksud Dokter Nicko, dan kembali fokus membantu Dokter Nicko menyelesaikan Operasi ini.
*****
Tiga puluh menit kemudian, operasi pun selesai. Pasien telah dibawa ke ruang ICU karena kondisinya yang masih koma.
"Tadi pasien itu sakit apa sih Xing?" Tanyaku sambil melepas seragam operasi.
"Kanker tulang... Kasian deh, masih muda tapi 50% organ tubuhnya udah gak berfungsi... Dia kayaknya seumuran sama kita." Jawaban Xing tiba-tiba saja membuatku merinding. Tubuhku serasa kaku. Aku jadi terbayang seandainya aku yang diposisi pasien itu... Ahh tubuhku lagi-lagi bergidik dan bergetar merinding.
"Woy Lily? Kok bengong sih?! Kebiasaan lo ah melamun mulu!" Ucap Xing sambil mencubit pipiku gemas. Mungkin untuk menyadarkanku dari lamunanku yang menyeramkan itu.
"Yah... Gue gak kebayang aja andai gue diposisi dia..." Aku melipat kedua tanganku diatas meja dan meletakan kepalaku diatasnya. Tubuhku terasa lemas akibat lamunanku tadi.
"Yaudah, daripada melamun mending check kondisinya sana! Sebelum dokter cadel itu marah lagi." Ucap Xing sambil menyerahkan pulpen dan selembar kertas data pasien.
"Namanya Dokter Nicko! Bukan dokter cadel! Biar cadel gitu juga ganteng tau!" Aku mengambil kertas dan pulpen itu lalu berjalan meninggalkan Xing dan menuju kamar pasien.
*****
Sebelum masuk ruang ICU itu aku melihat seseorang yang tak asing untuk dilihat baru keluar dari ruang ICU itu.
"Lucas? Kamu ngapain disini Dek?" Tanyaku pada Lucas yang terlihat murung. Matanya sembab, raut wajahnya murung dan frustasi. Sepertinya dia sedang mengalami sesuatu yang menyiksa batin dan pikirannya.
"Kak Lily? Kakak ngapain disini?!" Bukan jawaban yang ku dapat, tapi malah sebuah pertanyaan yang berbalik ditanyakan oleh Lucas.
"Aku suster disini Dek, kamu sendri? Kamu kenal pasien yang didalam?" Aku mulai melirik kedalam kamar ICU itu.
"Kak, yang didalam itu Kak Rafael..." Suara Lucas terdengar lirih saat menyebut nama Kakaknya. Dengan panik namun sigap, aku segera membaca data pasien dalam selembar kertas itu Rafael Landry Tanubrata, 21 tahun.
"Tidak, tidak mungkin ini Rafael sahabatku!" batinku. Aku langsung masuk kedalam kamar ICU itu, dan segera menuju sisi ranjang tempat Rafael berbaring.
"Rafael?!" Pekikku.
"Jadi pasien yang terkena Kanker Tulang itu kamu?!" Tanpa sadar air mataku yang sejak tadi mendesak ingin keluar sudah tumpah dan mengalir perlahan mengikuti lekukan pipiku yang mengembung.
"Iya Kak... Itu Kak Rafael... Oya, apa Kakak punya waktu luang? Ada yang mau aku ceritain. Lima belas menit aja..." Pinta Lucas dengan raut wajah memelas. Kentara sekali ia ingin aku menjawab iya. Karena raut wajahnya yang memelas itu memaksaku untuk menuruti permintaannya.
"Iya, tapi setelah Kakak cek keadaan Kakak kamu dulu yah..." Sahutku sambil menghapus sisa-sisa air mataku yang masih menggantung diatas pipiku yang mengembung.
"Oke, aku tunggu diluar yah Kak..." Lucas pun keluar dari kamar ICU dengan langkah perlahan sambil terus menoleh kearah Kakaknya yang sedang berbaring tak sadarkan diri.
Aku pun memeriksa detak jantung, dan hembusan nafasnya pertiga puluh detik. Setelah selesai, aku mencoba kembali menatap wajah sahabat lama yang tak ku temui sejak 3tahun lalu itu. Telah lama tak bertemu dengannya, kini aku menemukannya dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Harusnya aku bisa mendengarkan kisah-kisah jenakanya seperti 3 tahun lalu. Karena hanya cerita-cerita jenakanya yang selalu mampu menghiburku dulu.
"Sejak tiga tahun lalu aku memang sempat membencimu yang sempat tak menepati janjimu dihari spesialku... Tapi saat ini, melihatmu dengan keadaan seperti ini... Rasa benci itu musnah, Raff... Cepet sadar yah, cepet sembuh..." Ucapku sambil mengecup kening Raffael dan menatapnya sesaat sebelum aku meninggalkannya di kamar ICU ini. Aku pun merapihkan selimut Raffael, lalu keluar untuk menemui Lucas.
"Gimana keadaan Kak Raffa?" Tanya Lucas dengan panik ketika aku keluar dari kamar ICU tempat Kakaknya dirawat.
"Kakak gak bisa jawab, karena Kakak juga gak tau... Kita cuma bisa berdoa... Oya, kamu mau ngomong apa Dek?" Dustaku. Sebenarnya masih tidak ada perkembangan pada Raffael pasca operasi. Tapi aku tak mau membuat Lucas semakin sedih lagi.
"Kak inget tiga tahun lalu saat ulang tahun Kakak ke 18? Kak Raffa gak dateng kan? Kak Raffa bukannya gak mau nepatin janji Kak, tapi gejala penyakit Kak Raffa timbul dihari itu... Waktu Kak Raffa mau nyebrang, tiba-tiba kaki Kak Raffa gak bisa digerakin... Kecelakaan pun gak bisa dicegah... Kak Raffa keserempet motor Kak... Setelah check up ke rumah sakit, Kak Raffa difonis Mengidap penyakit Kanker Tulang. Perlahan dan secara bertahap organ tubuh Kak Raffa akan berhenti berfungsi Kak... Dan ditahun ketiga ini, sudah 60% organ gerak tubuh Kak Raffa udah gak berfungsi..." Ungkap Lucas dengan lirnangan air matanya.
Tanpa sadarpun, ternyata air mataku telah tumpah dan tak terbendung lagi. Sesak dadaku rasanya. Hatiku terasa tersayat. Menyesal, Kesal dan aku merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. Ternyata rasa benci yang tumbuh selama ini hanya salah paham belaka. Aku menyesal karena telah membencinya. Kesal karena telah membiarkan rasa benci itu tumbuh selama tiga tahun. Aku merasa jadi manusia paling bodoh karena tidak pernah berusaha mencarinya dan meminta penjelasan darinya.
"Kak? Maafin aku yah udah buat Kakak sedih..." Lucas mengulurkan sapu tangannya padaku. Tapi aku hanya tersenyum tipis. Aku beranjak dari dudukku dan berdiri dihadapannya.
"Yang penting sekarang, kita terus berdoa buat kesembuhan Kak Raffa... Kakak gak sedih kok, kamu juga jangan sedih yah. Percaya aja, kalo Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik untuk semua umatnya..." Ucapku berusaha menguatkan Lucas yang saat ini terlihat sangat rapuh.
"Iya Kak... Kakak jangan marah sama Kak Raffa lagi ya?" Ucapan Lucas membuat jantungku berhenti berdetak sesaat. Ucapannya seperti sebuah hantaman yang jatuh tepat dijantungku. Kesalahan terbesarku memanglah membencinya. Aku memang menyesal, bahkan sangat menyesal.
"Gak kok... Kamu udah makan?" Tanyaku berusaha mencairkan suasana yang sudah membuatku tegang ini.
"Belum, aku mana bisa makan, sementara didalam... Kak Raffa sedang berjuang untuk hidup." Jawabnya. Lucas menatap Raffa dari luar pintu.
"Tapi kamu harus makan, kalo gak nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, siapa yang jagain Kak Raffa? Kan cuma kamu yang Kak Raffa punya saat ini. Ikut Kakak yuk, kita cari makanan!" Aku mengulurkan tanganku. Lucas pun meraihnya. Aku dan Lucas pun pergi menuju kantin rumah sakit setelah aku menyerahkan data Raffa pada dokter Nicko.
*****
Saat sedang menemani Lucas makan, tiba-tiba Xing meneleponku.
"Aduh Xing, bisa gak sih lo tuh gak ganggu gue pas gue lagi tenang? Kalo mau ganggu tuh cari waktu yang pas!" Aku berceloteh tanpa mendengarkan Xing bicara lebih dulu.
"Apa?! Oke, gue kesana sekarang! Thanks yah, kali ini lo ganggu gue tapi buat gue seneng!" Aku mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon dengan sebuah senyum yang menghiasi bibirku.
"Kenapa Kak?" Sambil terus makan, Lucas bertanya dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin dia bingung melihatku yang tadinya marah-marah saat mengangkat telepon, tapi tiba-tiba sekarang tersenyum setelah menerima telepon.
"Kak Raffa udah sadar! Cepet kamu abisin makannya, dan kita temuin Kak Raffa." Ajakku penuh antusias. Lucas tersenyum lebar. Kentara sekali ia merasa lega dan bahagia. Tanpa menjawab Lucas pun segera menghabiskan makanannya.
*****
"Xing, gimana pasiennya?" Bisikku pada Xing yang sedang mencatat data Raffa yang sedang diperiksa oleh dokter Nicko.
"Sedikit ada peningkatan walaupun sedikit." Jawabnya balik berbisik.
"Ah... Adik keluarga pasien kan? Bisa panggil orang tua Adik untuk kesini?" Dokter Nicko menatap Lucas denan tatapan serius. Aku pun ikut menatap Lucas yang terlihat bingung harus menjawab apa.
"Dok, mereka berdua udah gak punya orang tua..." Jawabku spontan.
"Iya Dok, biaya operasi saja boleh hasil sumbangan..." Sambung Lucas dengan mata yang berkaca-kaca.
"Ah maaf... Tapi ada hal penting yang harus dibicarakan..." Gumam Dokter Nicko dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Saya saja Dok, saya sahabatnya dari kecil.. Jadi mereka sudah seperti keluarga saya sendiri." Pintaku dengan wajah yang memelas. Aku tatap Dokter Nicko dalam-dalam. Semoga saja ini mampu menghipnotisnya.
"Baiklah, Lily ikut saya ke ruangan. Xing, temani Adik pasien ya..." Ucap Dokter Nicko sambil berjalan meninggalkan kamar ICU.
"Lucas sini dulu yah... Nanti Kakak balik lagi." Ucapku sebelum pergi menyusul dokter Nicko yang sudah keluar Kamar ICU.
*****
"Tangan pasien sudah bisa digerakan, tapi pada bagian kaki masih tidak bisa digerakan. Penglihatan pun mulai memudar. Dengan kata lain 35% organ tubuh pasien masih tidak berfungsi. Dan operasi tadi hanya mampu mengurangi 20% fungsi dari organ tubuh pasien." Jelas Dokter Nicko dengan raut wajah cemas. Terlihat sekali kalau Dokter Nicko pun cemas dan khawatir pada pasiennya.
"Jadi apa ada usaha lain untuk mencegah penurunan fungsi organ tubuh pasien? Pasien bisa sembuh kan Dok? Dokter Nicko kan Dokter hebat, pasti bisa kan Dok?" Dengan lirnangan air mata aku mengamuk dan menangis. Apa yang harus aku katakan pada Lucas nanti, jika ia menanyakan keadaan Kakaknya?
"Maafkan saya Lily, tapi belum ada satupun Dokter didunia yang mampu menekan obat mujarab penyembuh Kanker Tulang. Operasi dan obat-obatan semahal apapun hanya memperlambat usia pasien saja... Saya harap kamu mengerti, dan bisa menerima masalah ini dengan sabar dan ikhlas." Dokter Nicko menghapuskan air mataku dengan jemari lembutnya.
*****
Aku menyeret kakiku dan melangkah pelan menuju kamar ICU. Bumi terasa runtuh, dan semua isinya serasa ada dikepalaku sekarang. Terasa berat dan sangat menyiksa. Apa yang harus aku jelaskan pada Lucas? Kenapa semua harus terjadi secepat ini?
"Lily?!" Xing berteriak tepat ditelingaku.
"Aaaahh! Xing! Bisa gak sih lo gak ngagetin gue sekali aja! Tiap hari nyawa gue tuh terancam cuma gara-gara lo!" Bentakku pada Xing.
"Ah lebay lo! Lagian tiap waktu dan dimanapun bengong mulu! Gak baik tau... Lo ada masalah?" Xing mengangkat daguku dan menatap wajahku yang memang sedang sendu.
"Yah... Gitulah... Gue belum bisa cerita. Gue duluan ya..." Aku pun pergi meninggalkan Xing untuk menjenguk Raffa dan menemui Lucas.
*****
"Hay..." Sapaku pada Raffa yg sedang terbaring lemah.
"Kak, gimana keadaan Kak Raffa?" Terlihat sebuah senyum simpul diwajah Lucas. Dan aku tak mau menghapusnya. Aku tidak mau merusak kebahagiaannya.
"Kondisi Kakak kamu membaik, Kak Raffa pasti nanti sembuh." Dustaku pada Lucas. Maafkan aku Tuhan, aku hanya tak ingin menghancurkan kebahagiaannya saat ini.
"Tuh Kak denger kan kata Kak Lily? Kakak pasti sembuh!" Ucap Lucas penuh antusias.
"Lily? Lily Afrianti?" Raffa memutar bola matanya berusaha mencariku. Padahal kini aku tepat berada disampingnya. Ternyata penglihatannya benar-benar memburuk.
"Iya Raffa, ini aku." Kuraih tangannya yang tersambung jarum infus. Ya Tuhan, aku sungguh tidak tega melihat keadaan Raffa seperti ini. Aku semakin merasa bersalah dan menyesal telah menjauhinya. Harusnya aku bisa berada disisinya saat keadaannya seperti ini.
"Sejak kapan kamu ada disini?! Pergi!" Raffa melepas paksa genggaman tanganku.
"Kakak..." Lucas berusaha menenangkan Raffa.
"Pergi! Pergi Lily!" Raffa berteriak histeris seperti tak menerima keadaanku disini. Apakah wajahku menyeramkan? Apakah aku menakutkan? Mengapa Raffa begitu histeris? Mengapa dia memintaku pergi?
"Raffa... Ini aku Lily... Gak mungkin kan kamu lupa?" Aku semakin mendekat pada Raffa. Ku genggam dan ku ciumi tangannya.
"Pergi! Dokter tolong!" Raffa semakin histeris dan meronta menolak kehadiranku.
"Kakak, please keluar yah Kak..." Pinta Lucas dengan wajah memohon. Lucas pun menangis melihat keadaanku.
Akhirnya dengan berat hati aku pun pergi keluar kamar ICU, meninggalkan Raffa dan Lucas. Jika memang Raffa tak menginginkan kehadiranku, aku harus bisa menerimanya. Aku pantas menerima ini, karena dulu pun aku sempat menolak kehadirannya dihidupku. Tapi sesakit inikah rasanya ditolak? Sesak dan perih. Tapi aku tak ingin membuat keadaan Raffa memburuk karena kehadiranku. Aku memang harus pergi.
*****
Aku terduduk dan terdiam dalam sendu. Bagai pohon tua yang ranting dan dahannya telah rapuh, daun kering dan berguguran. Dan siap ambruk ditiup angin yang akan menerjang. Rasa perih ini tak terhankan. Aku terduduk terdiam selama satu jam dengan lirnangan air mata yang seakan tak pernah ada habisnya.
"Kakak?" Kali ini bukan suara Xing yang mengagetkanku. Suara Lucas yang terdengar Lirih lah yang membuatku tersadar dari renunganku.
"Ya Lucas?" Kuhapus lirnangan air mataku sebelum aku menatap Lucas.
"Maafin Kak Raffa yah Kak... Kak Raffa cuma malu sama keadaannya yang sekarang. Kak Raffa cuma gak mau Kakak liat Kak Raffa seperti sekarang. Aku yakin, sebenernya Kak Raffa seneng akhirnya bisa ketemu Kakak lagi..." Lucas menghapuskan air mataku yang terus mengalir.
"Kakak ngerti kok... Makasih ya sayang." Aku berusaha tersenyum pada Lucas.
"Tapi sekarang, Kak Raffa udah mau ketemu Kakak kok. Aku udah bujuk Kak Raffa. Kakak jangan sedih lagi ya..." Senyuman Lucas yang terlihat sangat polos dan penuh rasa gembira itu telah membuat hatiku lega.
"Bener? Makasih yah Dek." Ku cium keningnya, lalu beranjak dari dudukku dan masuk kedalam kamar ICU Raffa.
"Raffa..." Ku langkahkan kakiku dengan perlahan mendekatinya.
"Bukannya kamu udah gak mau ketemu aku lagi?! Mau apa lagi sekarang?" Tanya Raffa dengan nada ketus.
"Maafin Aku Raff, waktu itu aku kira kamu sengaja gak nepatin janji kamu dihari ulang tahun aku. Tapi ternyata, semua diluar kendali kamu. Maaf Raff." Ku genggam tangan Raffa. Ku lihat butiran bening mulai mengalir dari bola mata Raffa yang mulai hilang fungsinya.
"Tapi kenapa baru sekarang? Kamu lihat keadaanku sekarang? Menyedihkan bukan?! Aku tau, kamu pasti lagi ketawa dan bahagia liat aku sekarang!" Ucap Raffa dengan lirnangan air matanya yang terus mengalir, seiring dengan air mataku yang mengalir.
“Raffa, STOP! Raffa dengerin aku!” Aku menarik kepala Raffa menghadapku dengan perlahan, walau aku tau itu tak terlalu berpengaruh baginya karena penglihatannya yang memudar.
“Aku memang bahagia, bahagia bias bertemu kamu lagi dan bias mengerti atas kesalahpahaman yang dulu pernah terjadi. Dan aku memang sedih, kenapa semua ini harus terjadi dengan sahabat yang sangat aku sayangi.” Ku peluk Raffa dengan erat. Entah berapa banyak air mataku yang mengalir, kurasakan lirnangan air hangatpun mengalir dipundakku. Raffa juga menangis dalam pelukanku.
“Maaf Lily… Aku cuma malu sama kamu, aku malu kamu lihat aku menderita seperti ini…” Raffa pun mulai membalas pelukanku.
“Aku sayang kamu Raffa… bertahanlah, semua pasti bias teratasi. Tuhan punya rencana yang indah untuk kamu.” Aku berusaha menyemangatinya, dan menjadi Lily yang dulu. Lily yang selalu ada untuk Raffa. Baik suka maupun duka, menerima semua kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
“Kalau aku pergi nanti, boleh aku titip Lucas sama kamu?” Ucap Raffa pelan, seperti rintihan.
“Haha… Ngomong apa sih kamu?! Kamu pasti sembuh kok! Sekarang istirahat yah, aku mau nengok pasien yang lain.” Ucapku berusaha tak membuatnya down lagi. Aku mencium kening Raffa sebelum meninggalkannya sendiri di kamar ICU.
*****
Seminggu sudah Raffa dirawat disini, kondisinya bukan semakin membaik tapi semakin menurun. Dokter Nicko pun hanya bias menunggu takdir dari Tuhan. Kami semua hanya bias berdoa. Lucas pun hanya bias menahan tangisnya tiap kali menjenguk Kakaknya. Kini Lucas mulai tinggal dengan Xander, pacarku sejak SMA. Kondisi Raffa semakin menurun drastic, hingga hari ini ia harus masuk UGD.
“Gimana keadaan Raffa?” Xander menghampiriku yang baru saja keluar dari ruang UGD. Hari ini Xander tak hanya mengantar Lucas menjenguk Raffa, tapi ia juga ikut kedalam dan menjenguk Raffa.
“Kak, apa aku masih punya banyak kesempatan buat ketemu Kak Raffa? Aku pengen bias main lagi sama Kak Raffa…” Lucas menangis terisak memelukku.
“Sabar yah sayang, Dokter lagi berusaha menyelamatkan Kak Raffa, kita bantu doa yah…” Ku balas pelukannya yang sangat erat. Aku tau, Lucas sangat takut untuk kehilangan Raffa.
Xander menghampiriku dan mengusap pundakku. “Sabar yah sayang, Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik untuk Raffa.” Ucap Xander lembut.
Aku hanya mengangguk, dan masuk kembali ke ruang UGD untuk menemani Xing, dan Dokter Nicko.
Satu jam telah berlalu, namun semua tak bias lagi dilanjutkan. Raffa pergi menjemput ajalnya. Aku yakin ini memang yang terbaik untuk Raffa. Tapi berat untukku menerima kenyataan ini. Apalagi untuk Lucas. Raffa adalah saudara kandung Lucas satu-satunya. Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini pada Lucas?
“Lily, yang sabar yah… Maafkan saya…” Dokter Nicko menepuk pundakku pelan.
“Iya Dok, terima kasih telah melakukan yang terbaik buat Raffa selama ini.” Ucapku sambil meraih tangan Dokter Nicko yang masih menempel dipundakku.
“Yang sabar ya Lily… tabah… Semua akan berakhir indah. Tuhan masih punya rencana lain dibalik hari ini.” Xing pun ikut berusaha menyemangatiku.
Aku hanya bisa tersenyum tanpa bias berucap apapun. Xing dan Dokter Nicko pun keluar dari ruang UGD, disusul Lucas dan Xander yang masuk kedalam UGD.
“Kak Raffffaaaaa….” Lucas berlari menghampiri Raffa dengan tangis yang histeris.
Xander menghampiriku dan langsung memelukku. Ia tahu, hanya pelukannyalah yang sekarang aku butuhkan. Karena aku merasa tubuhku melemas. Jantungku serasa mulai lambat berdetak. Aku saja merasakan betapa terpukulnya dalam menerima kenyataan ini, bagaimana dengan Lucas?
“Yang kuat yah Sayang, tetap jadi Liliy yang selalu semangat.” Xander menghapuskan air mataku yang tak berhenti mengalir sejak tadi.
“Kakak Jahat! Kenapa Kakak tinggalin Lucas? Kakak JAHAT!” Lucas terus menangis histeris.
Xander melepaskan pelukannya padaku, lalu membawa Lucas keluar dari ruang UGD ini untuk menenangkannya dan memberinya pengertian atas kepergian Raffa. Sementara aku mengurus pemakaman jassad Raffa.
*****
Dihari pemakaman Raffa, Lucas masih ngotot ingin ikut ke pemakaman, padahal ia sudah beberapa kali pingsan. Tapi mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa mendampingi Kakaknya, sebelum ia tidak akan pernah bias bertemu lagi dengan Kakaknya.
“Semoga Kakak bahagia di surga, Lucas sayang Kakak…” Ucap Lucas sambil menaburkan bunga pada makam Raffa.
“Kita pulang yuk Sayang…” Ku genggam tangannya. Ku tuntun ia untuk jalan bersamaku dengan perlahan dan meninggalkan makam Lucas.
Aku, Lucas dan Xander pun pulang. Kini Lucas tinggal bersamaku. Ia tetap lanjut bersekolah seperti dahulu. Xanderlah yang membantuku membiayai Lucas sekolah. Aku akan menjaga dan merawat Lucas seperti pesan terakhirmu, Raffa. Tenanglah engkau dalam dekapan Tuhan.
Selamat tinggal Raffa... Walaupun pada akhirnya aku harus kehilanganmu untuk terakhir kalinya, tapi percayalah... Kau adalah sahabat terbaik yang pernah kudapatkan. Walaupun pada akhirnya pertemuan ini harus berakhir dengan duka yang amat dalam. Tapi aku yakin, Tuhan mempunyai rencana yang indah... Baik untukku, Lucas dan engkau yang berada jauh disana :)
END
NO COPAS, NO EDIT NO BAJAAKKK!
DOSA TANGGUNG SENDIRI!
NISNIS
KERITIK, KOMENT DAN SARAN ditunggu :))
@AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Coklat Bisa Kadaluarsa, Tapi Cintaku Tidak!
Coklat Bisa Kadaluarsa, Tapi Cintaku Tidak!
Coklat Bisa Kadaluarsa, Tapi Cintaku Tidak!
Penulis : Annis Raka Prianti
Follow : @AnnisPrianti / @Nisnizer_PCCN
Cinta kadang membuat seseorang terluka dan tentu saja juga membuat orang yang sedang jatuh cinta bahagia. Tapi penantian dan harapan terkadang menimbulkan luka yang amat mendalam, saat orang yang telah lama berharap dan menanti itu tahu bahwa semua harapan akan penantiannya sia-sia.
Dan hanya yang setialah yang mampu bertahan diatas luka akan pengharapan yang sia-sia. Hanya yang setialah yang terus menerima luka dari orang yang disayanginya. Dan hanya yang setialah yang terus bahagia menyayangi seseorang walau tanpa balasan atau bahkan tak ada kesempatan lagi untuk memiliki orang yang diharapkannya.
*****
Langit terlihat gelap, sambaran petir menggelegar dahsyat membelah langit yang terlihat sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Udara dingin terasa menusuk kekosongan jiwa. Matahari bersembunyi dibalik gumpalan awan gelap. Cuaca pagi ini bagai menggambarkan suasana hati Nasyha.
Ia teringat kejadian dihari valentine tiga tahun yang lalu.
*****
"Nasyha, ini buat kamu..." Harrimand memberikan Nasyha sebuah kotak berwarna merah muda.
"Buat aku Kak?" Nasyha menatap Harrimand dengan aneh. Terlihat sekali Nasyha merasa bingung dan gugup. Karena kini kakak kelas yang ia sukai sedang memberikannya sebuah hadiah valentine.
"Iya Nasyha... Ayo ambil!" Harrimand mengulurkan kotak itu lebih dekat pada Nasyha.
"Makasih Kak..." Nasyha meraih kotak pemberian Harrimand itu, diiringi segaris senyum manis yang menghiasi bibirnya yang tipis.
*****
Hari-hari berikutnya setelah kejadian dihari valentine ditahun 2009 itu, hubungan antara Nasyha dan Harrimand semakin akrab. Harrimand terlihat semakin perhatian pada Nasyha dan hal itulah yang membuat Nasyha semakin yakin dengan perasaannya pada Harrimand. Tapi setelah satu tahun berlalu dan Harrimand telah lulus dari SMA Karya Guna yang adalah sekolah mereka bersama, Harrimand menghilang begitu saja tanpa jejak. Bahkan hingga divalentine ditahun 2012 ini, masih tak ada kabar tentang keberadaannya.
Dan Nasyha hanya bisa mencintai Harrimand lewat semua barang sisa kenangannya bersama Harrimand. Album fotonya bersama Harrimand masih tersimpan rapih. Bahkan beberapa foto masih terpajang disudut kamarnya. Semua tiket nonton, boneka pemberian Harrimand, hingga coklat valentine pemberian Harrimand ditahun 2009 silampun masih Nasyha simpan rapih dalam sebuah kotak besar, yang bertuliskan : My First love, Harrimand Suhud Herdiansyah . (cinta pertamaku, Harrimand Suhud Herdiansyah).
Coklat valentine pemberian Harrimand pun masih tersimpan dengan rapih.
"Coklat ini udah kadaluarsa, udah gak layak untuk dimakan. Tapi kenapa aku gak bisa buang perasaanku ke kakak? Padahal perasaan ini udah gak layak untuk disimpan dalam hati, bahkan untuk terus diperjuangkan!" Nasyha memandang sebuah coklat yang ia dapat tiga tahun yang lalu dari Harrimand. Kakak kelasnya di sekolah dulu. Dulu saat Nasyha masih murid kelas X SMA, Harrimand adalah murid XII IPA di SMA Karya Guna.
Nasyha terus membayangkan bagaimana wajah Kak Harrimand kini setelah tiga tahun berlalu. "Masihkah Kak Harrimand mengingatku dan semua saat-saat yang indah yang dulu kita alami bersama? Pernah kah Kak Harrimand merindukanku walau hanya sekali dalam hidupnya ditiga tahun belakangan ini?" itulah beberapa pertanyaan dari beribu pertanyaan yang berada dalam benak Nasyha.
"Apa aku harus berhenti mengharapkan Kak Harrimand? Tapi bagaimana mungkin aku bisa? He's my first love... Sejak tiga tahun lalu hingga sekarangpun perasaan itu masih tersimpan dihatiku.
Aku masih mengingat jelas semua kenangan yang telah aku alami bersama Kak Harrimand..." Nasyha terus bergumam tidak karuan. Hatinya resah dan bimbang, mengingat tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ditambah dengan beberapa cowok yang mulai datang dalam hidupnya. Tapi entah mengapa, Nasyha tak pernah punya niat melupakan Harrimand. Bahkan untuk berhenti memikirkan Harrimand pun, ia tak pernah bisa.
*****
Untuk menghilangkan kegelisahannya, Nasyha bermaksud untuk pergi jalan-jalan menghilangkan segala rasa gundah dan gelisahnya. Berharap mendapat hal yang akan menyenangkan hatinya, dan manghapus rasa galaunya.
Karena cuaca yang masih hujan, dengan menggunakan sebuah paying, Nasyha berjalan secara perlahan sambil menikmati hembusan udara dingin yang menjadi penghias hujan yang turun sangat lebatnya tanpa tujuan kemana ia akan pergi.
Nasyha menatap kesebrang jalan saat akan menyebrang. Ia melihat seseorang diseberang jalan. Seseorang yang sudah tak asing baginya, seseorang yang telah lama menghilang, dan seseorang yang selama ini telah menghantui hidupnya.
" Kak Harrimand..." Nasyha bergumam pelan. "Tidak, itu tidak mungkin Kak Harrimand." Nasyha menggelengkan kepalanya sambil mulai menyeberangi jalan. Dan tanpa sadar ada sebuah sepeda motor yang telah siap menabraknya.
"AWAS!" seorang laki-laki dari seberang jalan berteriak dan langsung menarik Nasyha kepinggir jalan dengan dekapannya.
"Deg... Deg... Deg... Deg..." tiba-tiba jantung Nasyha berdegup kencang. Entah karena perasaannya yang terkejut atas kejadian barusan, atau kerena dekapan seorang laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya.
"Kamu gak apa-apa kan... Nasyha?" Laki-laki itu melotot dan hampir menganga ketika menatap wajah Nasyha. Sepertinya ia sangat terkejut. Ia melihat Nasyha bagai melihat setan disiang bolong, menatap Nasyha dengan sangat aneh. Tatapannya yang tajam mampu menembus mata hati Nasyha.
Begitupun Nasyha. Ia hanya terdiam memandang wajah laki-laki itu, mata Nasyha tertuju pada wajah yang ada dihadapannya. Darahnya terasa berdesir sangat cepat, tubuh bahkan hatinya terasa bergetar bagai tersengat jutaan volt arus listrik. Mata Nasyha terbelalak dan mulutnya hampir tidak bisa rapat. Wajah yang selama ini terlukis dalam hati Nasyha kini berada dihadapannya.
"Kamu Nasyha kan?" Laki-laki itu membesarkan volume suaranya sambil melepaskan Nasyha dari dekapannya.
Satu katapun tak mampu terucap dari bibir Nasyha. Ia masih shock dengan apa yang Ia alami saat ini.
"Nyatakah semua yang terjadi saat ini? Benarkah laki-laki itu dia? Dia yang selama ini telah lama menghilang. Dia yang selama ini selalu mengisi kekosongan hatiku?" batin Nasyha terus bertanya-tanya. Bermacam-macam prasangka berkecamuk dalam benaknya.
"Nasyha Gisella?!" Harrimand menggoyangkan tubuh Nasyha yang masih terlihat tegang tak bergerak.
"Iya..." akhirnya Nasyha mampu mengeluarkan kata pertamanya walau masih terdengar sangat pelan.
Tiba-tiba Harrimand langsung memeluk Nasyha dengan erat. "Akhirnya aku bisa ketemu kamu..." Harrimand membelai mesra rambut Nasyha.
Nasyha lagi-lagi hanya diam seribu kata. Ingin ia membalas pelukan Harrimand yang telah lama ia rindukan. Tapi justru Nasyha merasakan sesuatu yang aneh. Nasyha merasa pelukan Harrimand kali ini berbeda. Pelukannya terasa lebih hangat.
"Mungkinkah ini bukti nyata akan kerinduan yang telah lama aku rasa?" dengan perlahan Nasyha membalas pelukan Harrimand. Tiba-tiba butiran bening air matanya mengalir perlahan membasahi pipinya.
"Nasyha, aku kangen sama kamu..." Harrimand mempererat pelukannya pada Nasyha.
Tapi kenapa kamu ninggalin aku dan hilang gitu aja? Kamu jahat!" Nasyha tiba-tiba berontak dari pelukan Harrimand.
"Syha, please dengerin dulu penjelasan aku!" Harrimand terus mempererat pelukkannya tanpa memperdulikan Nasyha yang terus berontak dan meronta dari pelukan Harrimand sambil menangis terisak.
Nasyha hanya terus menangis, namun ia mulai berhenti meronta dan kembali memeluk Harrimand lebih erat.
Harrimand melepaskan pelukannya. Ia menghapuskan air mata Nasyha yang menggatung lembut dikedua pipi Nasyha yang mengembung. Harrimand menarik tangan Nasyha untuk mengikutinya kesebuah tempat. Nasyha hanya bisa pasrah larut dalam tangisannya saat Harrimand menuntun dan menggenggam erat tangannya menuju suatu tempat.
*****
Hanya dalam waktu sepuluh menit berjalan, mereka telah sampai disuatu tempat yang sangat indah. Tempat itu adalah taman belakang sekolah mereka.
"Kamu inget kan Syha ini dimana?" Harrimand melepaskan genggamannya yang sejak tadi terus menggenggam tangan Nasyha.
Aku udah lupain semuanya. SEMUANYA!" Nasyha menekankan kata-kata terakhirnya. Berpaling dan berjalan meninggalkan Harrimand.
"Syha... Please tunggu!" Harrimand menarik tangan Nasyha. Ia menarik wajah Nasyha untuk menatapnya. Betapa kagetnya Harrimand, saat ia menyadari ternyata Nasyha menangis.
"Aku udah lupain semua tentang kamu! Tempat ini, kenangan kita, bahkan aku udah lupa sama perasaan aku ke kamu!" Nasyha melepaskan wajahnya dari rengkuhan tangan Harrimand.
“Kalo kamu udah lupain semuanya, kenapa kamu nangis? Kalo kamu emang udah gak punya rasa apapun sama aku, kamu gak akan takut buat tatap mata aku. Kamu bohong Syha. Aku yakin perasaan kamu masih sama kayak aku, masih seperti dulu." Harrimand memeluk Nasyha yang telah lama ia rindukan. Awalnya Nasyha mencoba melepaskan pelukkan itu, tapi akhirnya ia malah menangis dipelukkan Harrimand. Meluapkan semua rasa kerinduan yang telah terpendam selama tiga tahun.
"Kenapa dulu kamu ngilang gitu aja Mand? Dan kenapa baru sekarang kamu balik? Sampe kapan kamu mau ancurin hati aku?! Kamu gak pernah tau sakitnya aku selama nunggu kamu..."
"Sorry Syha... It's about my family... Aku dipindahin ke Australia setelah hari kelulusan. Aku digembleng habis-habisan untuk belajar disana. Untuk nerusin bisnis Papa aku yang hampir bangkrut. Aku kerja sambil kuliah disana. You don't know how much i miss you, Nasyha." Harrimand menatap kedua mata Nasyha tanpa ragu. Tatapannya penuh keyakinan. Dan terlihat kesedihan diraut wajahnya.
"Tapi kenapa kamu gak pernah coba hubungin aku? Kamu tau aku selalu bimbang, selalu ragu dalam mengambil langkah, antara terus mencintai kamu atau melupakan kamu? Kamu gak pernah tau, karena kamu gak pernah mau tau tentang aku!" lagi-lagi air mata Nasyha mengalir. Butiran bening itu mengalir mengikuti bentuk lekukan pipi Nasyha.
"Apa kamu tau tersiksanya aku dihantui rasa bersalah? Aku tau sikap aku ini salah. Tapi semua diluar kendali aku. Aku mohon kamu ngerti, Syha." Harrimand menghapuskan air mata Nasyha yang menggantung dipipi Nasyha dengan tangannya.
Nasyha berlari begitu saja meninggalkan Harrimand. Nasyha berlari kembali menuju rumahnya. "Kenapa... Kenapa perasaan ini gak pernah bisa berhenti? Aku masih bisa rasain getaran itu. Getaran cinta dalam hatiku. Waktu dia genggam tangan ini... Belain tangannya dipipi ini... Bahkan saat ia peluk aku pun, aku masih ngerasa nyaman! Apa yang harus aku lakukan?" Nasyha terus memikirkan tentang perasaannya pada Harrimand.
Sepanjang perjalanannya berlari menuju rumahnyapun, Nasyha terus menangis. Tanpa sepengetahuan Nasyha, Harrimand terus mengikutinya hingga rumah.
*****
Saat tiba dirumahnya, Nasyha langsung masuk kedalam kamarnya. Mama Nasyha yang bingung melihat Nasyha pun mengejar putrinya itu.
"Sayang, kamu kenapa? Kok pulang nangis gini?" Mama Nasyha duduk ditepi ranjang Nasyha.
Nasyha langsung memeluk dan menangis dipelukan Mamanya. "Harrimand Mah..." Nasyha merasa sulit berbicara disela tangisannya.
"Harrimand? Kenapa sama Harrimand?" Mama Nasyha merasa bingung. Sementara tak menjawab, hanya menangis terisak.
"Sayang, Harrimand kenapa? Ada apa sama Harrimand?" Mama Nasyha melepaskan pelukannya pada putrinya itu, mencari jawaban atas segala kebingungannya dengan menatap wajah Nasyha.
"Dia dateng lagi Ma... Nasyha... Nasyha ketemu dia!" Nasyha berteriak histeris seperti telah bertemu hantu.
"Bagus dong... Akhirnya kamu ketemu lagi sama dia. Kamu bisa minta penjelasan kenapa dia dulu menghilang. Tapi kenapa kamu malah nangis?" Mama Nasyha menatap putrinya yang masih menangis.
"Aku benci Harrimand, Ma. Dia jahat. Udah ninggalin Nasyha gitu aja. Aku..." Nasyha menangis terisak. Bibirnya terasa sulit untuk berucap. Hanya rasa bimbang yang menghantuinya.
Saat suara tangisan Nasyha semakin kencang dan semakin histeris, tiba-tiba suara bel rumah Nasyha berbunyi.
"Sebentar ya, Sayang." Mama Nasyha meninggalkan Nasyha di kamarnya, dan berjalan menuju pintu untuk menyambut tamu yang telah menunggu.
*****
Saat Mama Nasyha membuka pintu rumahnya, sesaat Mama Nasyha terlihat kaget. Terdiam beberapa detik, baru mempersilahkan tamu itu masuk.
"Nasyha ada kan, Tante?" Harrimand memutar bolanya kesetiap sudut rumah Nasyha.
"Ada di kamar. Sebenarnya ada apa yah, Mand? Kalian ketemu dimana?" Mama Nasyha masih bersikap wajar seperti biasanya, seperti dulu Mama Nasyha menyambut Harrimand dengan hangat saat bertamu di rumahnya.
Harrimand menceritakan alasan ia dulu menghilang dan awal pertemuannya kembali dengan Nasyha. Untunglah Mama Nasyha mengerti dan memaklumi. Hingga Mama Nasyha bersedia membantu Harrimand menjelaskan semuanya pada Nasyha. Karena Mama Nasyha pun tahu, bahwa sebenarnya, putrinya pun masih mencintai Harrimand.
"Sebentar yah... Biar Tante yang jelasin sama Nasyha..." Mama Nasyha pun langsung menuju kamar Nasyha untuk membujuk Nasyha agar menemui Harrimand.
*****
Saat hendak masuk kedalam kamar Nasyha, ternyata Nasyha telah berada didepan kamarnya. "Aku udah tau yang dateng siapa... Mama juga mau bujuk aku kan? Gak mempan Ma..." Nasyha masih terus menangis. Air matanya serasa tak bisa berhenti.
"Tapi sampai kapan kamu seperti ini Sayang? Bukannya memaafkan itu lebih baik? Gak baik memendam rasa benci terlalu lama. Mama pun yakin, kamu masih sayang Harrimand kan?" Mama Nasyha tersenyum menggoda Nasyha.
"Mama...! Mama gak tau rasanya bertahan menyayangi orang yang gak tau dimana keberadaannya, ngelupain orang yang bahkan setiap waktu ada dipikiran aku. Dan perasaan itu bercampur jadi satu saat dia ada didepan aku. Gak mudah mah pahamin perasaan aku sendiri..." Nasyha mengerucutkan bibirnya karena kesal digoda oleh Mamanya.
"Kata siapa Mama gak pernah ngerasain? Mama pernah muda, dan pernah jatuh cinta. Lama jauh sebelum kamu ngerasain cinta. Tadi kamu bilang Mama gak tau rasanya menyayangi orang yang gak diketahui keberadaannya? Berarti kamu emang bener masih sayang Harrimand dong?!" Mama lagi-lagi mengedipkan matanya menggodaku.
"Ahh Mama... Tapi... Gak semudah itu... Hufth... Aku telanjur sakit..." Nasyha menarik napas panjang. Berusaha memahami perasaannya sendiri.
Kenapa kamu gak lupain kejadian tiga tahun lalu saat dia kehilangan dia. Kamu mulai lagi dari awal tepat tiga tahun lalu saat kamu mulai suka sama dia. Bisa kan? Daripada kamu terus bohongin perasaan kamu, dan semakin sakit? Mama tau kok perasaan kamu..." Mama mendekap Nasyha dalam pelukannya.
"Mama bener sih... Makasih yah Ma... Mama emang paling bijaksana dan paling ngerti aku!" Nasyha memeluk Mamanya dengan sangat erat.
"Iya Sayang... Mama gak mau kamu sedih lagi juga. Yaudah sana turun temuin Harrimand..." Mama Nasyha membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Oke Mama... Aku turun yah... Muaahh..." Nasyha langsung berlari menemui Harrimand, dengan sebuah kotak digenggamannya.
*****
"Nasyha..." Harrimand tersenyum saat melihat Nasyha sedang berjalan menghampirinya.
"Maaf aku..." belum selesai Nasyha berbicara, bibirnya telah ditahan oleh jari telunjuk Harrimand.
"Aku yang harusnya minta maaf... Bisa kan kita mulai semua dari awal lagi?" Harrimand menggenggam erat kedua pundak Nasyha dengan kedua tangannya.
“Aku maafin kok... Cinta sejati itu selalu memaafkan, selalu bersedia menunggu dan menanti, dan siap bertahan dan sakit karena sebuah penantian. Itu yang aku rasain, Mand..." Nasyha tersenyum pada Harrimand. Senyum yang hampir tiga tahun hilang, senyum yang selalu membuat Harrimand merindukannya.
"Ini buat kamu... Masih inget ini?" Harrimand mengeluarkan sekotak coklat untuk Nasyha.
"Inget kok! Bahkan sampe sekarang masih ada. Ini..." Nasyha menunjukkan kotak merah yang sedari tadi ia genggam.
"Masih ada sama coklatnya? Gak kamu makan? Udah kadaluarsa dong?" Harrimand menatap kotak merah muda yang ada ditangan Nasyha tanpa berkedip.
"Emang udah kadaluarsa! Tapi selalu aku simpen... Karena..." Nasyha tersenyum menggoda Harrimand yang terlihat serius menatapnya.
"Karena apa?!" Harrimand menatap Nasyha semakin tajam. Bola matanya serasa menembus dan menerawang tatapn Nasyha.
"Karena coklat bisa kadalauarsa, tapi cintaku untuk kamu tidak!" Nasyha mencubit lembut hidung Harrimand.
Harrimand hanya tersenyum tak mampu berkata apapun karena rasa bahagianya. Ia memeluk Nasyha sangat erat, untuk meluapkan rasa rindu bercampur bahagianya saat ini.
Harrimand dan Nasyha pun memulai kisah cinta mereka dari awal.
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua kesalahan, dan tidak ada kata lelah untuk sebuah penantian jika kita memang tulus dan tetap setia mencintai orang yang kita cintai. Karena tidak ada kata sia-sia untuk sebuah ketulusan dan perjuangan.
Coklat Bisa Kadaluarsa, Tapi Cintaku Tidak!
– END-
Follow : @AnnisPrianti / @Nisnizer_PCCN
Penulis : Annis Raka Prianti
Follow : @AnnisPrianti / @Nisnizer_PCCN
Cinta kadang membuat seseorang terluka dan tentu saja juga membuat orang yang sedang jatuh cinta bahagia. Tapi penantian dan harapan terkadang menimbulkan luka yang amat mendalam, saat orang yang telah lama berharap dan menanti itu tahu bahwa semua harapan akan penantiannya sia-sia.
Dan hanya yang setialah yang mampu bertahan diatas luka akan pengharapan yang sia-sia. Hanya yang setialah yang terus menerima luka dari orang yang disayanginya. Dan hanya yang setialah yang terus bahagia menyayangi seseorang walau tanpa balasan atau bahkan tak ada kesempatan lagi untuk memiliki orang yang diharapkannya.
*****
Langit terlihat gelap, sambaran petir menggelegar dahsyat membelah langit yang terlihat sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Udara dingin terasa menusuk kekosongan jiwa. Matahari bersembunyi dibalik gumpalan awan gelap. Cuaca pagi ini bagai menggambarkan suasana hati Nasyha.
Ia teringat kejadian dihari valentine tiga tahun yang lalu.
*****
"Nasyha, ini buat kamu..." Harrimand memberikan Nasyha sebuah kotak berwarna merah muda.
"Buat aku Kak?" Nasyha menatap Harrimand dengan aneh. Terlihat sekali Nasyha merasa bingung dan gugup. Karena kini kakak kelas yang ia sukai sedang memberikannya sebuah hadiah valentine.
"Iya Nasyha... Ayo ambil!" Harrimand mengulurkan kotak itu lebih dekat pada Nasyha.
"Makasih Kak..." Nasyha meraih kotak pemberian Harrimand itu, diiringi segaris senyum manis yang menghiasi bibirnya yang tipis.
*****
Hari-hari berikutnya setelah kejadian dihari valentine ditahun 2009 itu, hubungan antara Nasyha dan Harrimand semakin akrab. Harrimand terlihat semakin perhatian pada Nasyha dan hal itulah yang membuat Nasyha semakin yakin dengan perasaannya pada Harrimand. Tapi setelah satu tahun berlalu dan Harrimand telah lulus dari SMA Karya Guna yang adalah sekolah mereka bersama, Harrimand menghilang begitu saja tanpa jejak. Bahkan hingga divalentine ditahun 2012 ini, masih tak ada kabar tentang keberadaannya.
Dan Nasyha hanya bisa mencintai Harrimand lewat semua barang sisa kenangannya bersama Harrimand. Album fotonya bersama Harrimand masih tersimpan rapih. Bahkan beberapa foto masih terpajang disudut kamarnya. Semua tiket nonton, boneka pemberian Harrimand, hingga coklat valentine pemberian Harrimand ditahun 2009 silampun masih Nasyha simpan rapih dalam sebuah kotak besar, yang bertuliskan : My First love, Harrimand Suhud Herdiansyah . (cinta pertamaku, Harrimand Suhud Herdiansyah).
Coklat valentine pemberian Harrimand pun masih tersimpan dengan rapih.
"Coklat ini udah kadaluarsa, udah gak layak untuk dimakan. Tapi kenapa aku gak bisa buang perasaanku ke kakak? Padahal perasaan ini udah gak layak untuk disimpan dalam hati, bahkan untuk terus diperjuangkan!" Nasyha memandang sebuah coklat yang ia dapat tiga tahun yang lalu dari Harrimand. Kakak kelasnya di sekolah dulu. Dulu saat Nasyha masih murid kelas X SMA, Harrimand adalah murid XII IPA di SMA Karya Guna.
Nasyha terus membayangkan bagaimana wajah Kak Harrimand kini setelah tiga tahun berlalu. "Masihkah Kak Harrimand mengingatku dan semua saat-saat yang indah yang dulu kita alami bersama? Pernah kah Kak Harrimand merindukanku walau hanya sekali dalam hidupnya ditiga tahun belakangan ini?" itulah beberapa pertanyaan dari beribu pertanyaan yang berada dalam benak Nasyha.
"Apa aku harus berhenti mengharapkan Kak Harrimand? Tapi bagaimana mungkin aku bisa? He's my first love... Sejak tiga tahun lalu hingga sekarangpun perasaan itu masih tersimpan dihatiku.
Aku masih mengingat jelas semua kenangan yang telah aku alami bersama Kak Harrimand..." Nasyha terus bergumam tidak karuan. Hatinya resah dan bimbang, mengingat tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ditambah dengan beberapa cowok yang mulai datang dalam hidupnya. Tapi entah mengapa, Nasyha tak pernah punya niat melupakan Harrimand. Bahkan untuk berhenti memikirkan Harrimand pun, ia tak pernah bisa.
*****
Untuk menghilangkan kegelisahannya, Nasyha bermaksud untuk pergi jalan-jalan menghilangkan segala rasa gundah dan gelisahnya. Berharap mendapat hal yang akan menyenangkan hatinya, dan manghapus rasa galaunya.
Karena cuaca yang masih hujan, dengan menggunakan sebuah paying, Nasyha berjalan secara perlahan sambil menikmati hembusan udara dingin yang menjadi penghias hujan yang turun sangat lebatnya tanpa tujuan kemana ia akan pergi.
Nasyha menatap kesebrang jalan saat akan menyebrang. Ia melihat seseorang diseberang jalan. Seseorang yang sudah tak asing baginya, seseorang yang telah lama menghilang, dan seseorang yang selama ini telah menghantui hidupnya.
" Kak Harrimand..." Nasyha bergumam pelan. "Tidak, itu tidak mungkin Kak Harrimand." Nasyha menggelengkan kepalanya sambil mulai menyeberangi jalan. Dan tanpa sadar ada sebuah sepeda motor yang telah siap menabraknya.
"AWAS!" seorang laki-laki dari seberang jalan berteriak dan langsung menarik Nasyha kepinggir jalan dengan dekapannya.
"Deg... Deg... Deg... Deg..." tiba-tiba jantung Nasyha berdegup kencang. Entah karena perasaannya yang terkejut atas kejadian barusan, atau kerena dekapan seorang laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya.
"Kamu gak apa-apa kan... Nasyha?" Laki-laki itu melotot dan hampir menganga ketika menatap wajah Nasyha. Sepertinya ia sangat terkejut. Ia melihat Nasyha bagai melihat setan disiang bolong, menatap Nasyha dengan sangat aneh. Tatapannya yang tajam mampu menembus mata hati Nasyha.
Begitupun Nasyha. Ia hanya terdiam memandang wajah laki-laki itu, mata Nasyha tertuju pada wajah yang ada dihadapannya. Darahnya terasa berdesir sangat cepat, tubuh bahkan hatinya terasa bergetar bagai tersengat jutaan volt arus listrik. Mata Nasyha terbelalak dan mulutnya hampir tidak bisa rapat. Wajah yang selama ini terlukis dalam hati Nasyha kini berada dihadapannya.
"Kamu Nasyha kan?" Laki-laki itu membesarkan volume suaranya sambil melepaskan Nasyha dari dekapannya.
Satu katapun tak mampu terucap dari bibir Nasyha. Ia masih shock dengan apa yang Ia alami saat ini.
"Nyatakah semua yang terjadi saat ini? Benarkah laki-laki itu dia? Dia yang selama ini telah lama menghilang. Dia yang selama ini selalu mengisi kekosongan hatiku?" batin Nasyha terus bertanya-tanya. Bermacam-macam prasangka berkecamuk dalam benaknya.
"Nasyha Gisella?!" Harrimand menggoyangkan tubuh Nasyha yang masih terlihat tegang tak bergerak.
"Iya..." akhirnya Nasyha mampu mengeluarkan kata pertamanya walau masih terdengar sangat pelan.
Tiba-tiba Harrimand langsung memeluk Nasyha dengan erat. "Akhirnya aku bisa ketemu kamu..." Harrimand membelai mesra rambut Nasyha.
Nasyha lagi-lagi hanya diam seribu kata. Ingin ia membalas pelukan Harrimand yang telah lama ia rindukan. Tapi justru Nasyha merasakan sesuatu yang aneh. Nasyha merasa pelukan Harrimand kali ini berbeda. Pelukannya terasa lebih hangat.
"Mungkinkah ini bukti nyata akan kerinduan yang telah lama aku rasa?" dengan perlahan Nasyha membalas pelukan Harrimand. Tiba-tiba butiran bening air matanya mengalir perlahan membasahi pipinya.
"Nasyha, aku kangen sama kamu..." Harrimand mempererat pelukannya pada Nasyha.
Tapi kenapa kamu ninggalin aku dan hilang gitu aja? Kamu jahat!" Nasyha tiba-tiba berontak dari pelukan Harrimand.
"Syha, please dengerin dulu penjelasan aku!" Harrimand terus mempererat pelukkannya tanpa memperdulikan Nasyha yang terus berontak dan meronta dari pelukan Harrimand sambil menangis terisak.
Nasyha hanya terus menangis, namun ia mulai berhenti meronta dan kembali memeluk Harrimand lebih erat.
Harrimand melepaskan pelukannya. Ia menghapuskan air mata Nasyha yang menggatung lembut dikedua pipi Nasyha yang mengembung. Harrimand menarik tangan Nasyha untuk mengikutinya kesebuah tempat. Nasyha hanya bisa pasrah larut dalam tangisannya saat Harrimand menuntun dan menggenggam erat tangannya menuju suatu tempat.
*****
Hanya dalam waktu sepuluh menit berjalan, mereka telah sampai disuatu tempat yang sangat indah. Tempat itu adalah taman belakang sekolah mereka.
"Kamu inget kan Syha ini dimana?" Harrimand melepaskan genggamannya yang sejak tadi terus menggenggam tangan Nasyha.
Aku udah lupain semuanya. SEMUANYA!" Nasyha menekankan kata-kata terakhirnya. Berpaling dan berjalan meninggalkan Harrimand.
"Syha... Please tunggu!" Harrimand menarik tangan Nasyha. Ia menarik wajah Nasyha untuk menatapnya. Betapa kagetnya Harrimand, saat ia menyadari ternyata Nasyha menangis.
"Aku udah lupain semua tentang kamu! Tempat ini, kenangan kita, bahkan aku udah lupa sama perasaan aku ke kamu!" Nasyha melepaskan wajahnya dari rengkuhan tangan Harrimand.
“Kalo kamu udah lupain semuanya, kenapa kamu nangis? Kalo kamu emang udah gak punya rasa apapun sama aku, kamu gak akan takut buat tatap mata aku. Kamu bohong Syha. Aku yakin perasaan kamu masih sama kayak aku, masih seperti dulu." Harrimand memeluk Nasyha yang telah lama ia rindukan. Awalnya Nasyha mencoba melepaskan pelukkan itu, tapi akhirnya ia malah menangis dipelukkan Harrimand. Meluapkan semua rasa kerinduan yang telah terpendam selama tiga tahun.
"Kenapa dulu kamu ngilang gitu aja Mand? Dan kenapa baru sekarang kamu balik? Sampe kapan kamu mau ancurin hati aku?! Kamu gak pernah tau sakitnya aku selama nunggu kamu..."
"Sorry Syha... It's about my family... Aku dipindahin ke Australia setelah hari kelulusan. Aku digembleng habis-habisan untuk belajar disana. Untuk nerusin bisnis Papa aku yang hampir bangkrut. Aku kerja sambil kuliah disana. You don't know how much i miss you, Nasyha." Harrimand menatap kedua mata Nasyha tanpa ragu. Tatapannya penuh keyakinan. Dan terlihat kesedihan diraut wajahnya.
"Tapi kenapa kamu gak pernah coba hubungin aku? Kamu tau aku selalu bimbang, selalu ragu dalam mengambil langkah, antara terus mencintai kamu atau melupakan kamu? Kamu gak pernah tau, karena kamu gak pernah mau tau tentang aku!" lagi-lagi air mata Nasyha mengalir. Butiran bening itu mengalir mengikuti bentuk lekukan pipi Nasyha.
"Apa kamu tau tersiksanya aku dihantui rasa bersalah? Aku tau sikap aku ini salah. Tapi semua diluar kendali aku. Aku mohon kamu ngerti, Syha." Harrimand menghapuskan air mata Nasyha yang menggantung dipipi Nasyha dengan tangannya.
Nasyha berlari begitu saja meninggalkan Harrimand. Nasyha berlari kembali menuju rumahnya. "Kenapa... Kenapa perasaan ini gak pernah bisa berhenti? Aku masih bisa rasain getaran itu. Getaran cinta dalam hatiku. Waktu dia genggam tangan ini... Belain tangannya dipipi ini... Bahkan saat ia peluk aku pun, aku masih ngerasa nyaman! Apa yang harus aku lakukan?" Nasyha terus memikirkan tentang perasaannya pada Harrimand.
Sepanjang perjalanannya berlari menuju rumahnyapun, Nasyha terus menangis. Tanpa sepengetahuan Nasyha, Harrimand terus mengikutinya hingga rumah.
*****
Saat tiba dirumahnya, Nasyha langsung masuk kedalam kamarnya. Mama Nasyha yang bingung melihat Nasyha pun mengejar putrinya itu.
"Sayang, kamu kenapa? Kok pulang nangis gini?" Mama Nasyha duduk ditepi ranjang Nasyha.
Nasyha langsung memeluk dan menangis dipelukan Mamanya. "Harrimand Mah..." Nasyha merasa sulit berbicara disela tangisannya.
"Harrimand? Kenapa sama Harrimand?" Mama Nasyha merasa bingung. Sementara tak menjawab, hanya menangis terisak.
"Sayang, Harrimand kenapa? Ada apa sama Harrimand?" Mama Nasyha melepaskan pelukannya pada putrinya itu, mencari jawaban atas segala kebingungannya dengan menatap wajah Nasyha.
"Dia dateng lagi Ma... Nasyha... Nasyha ketemu dia!" Nasyha berteriak histeris seperti telah bertemu hantu.
"Bagus dong... Akhirnya kamu ketemu lagi sama dia. Kamu bisa minta penjelasan kenapa dia dulu menghilang. Tapi kenapa kamu malah nangis?" Mama Nasyha menatap putrinya yang masih menangis.
"Aku benci Harrimand, Ma. Dia jahat. Udah ninggalin Nasyha gitu aja. Aku..." Nasyha menangis terisak. Bibirnya terasa sulit untuk berucap. Hanya rasa bimbang yang menghantuinya.
Saat suara tangisan Nasyha semakin kencang dan semakin histeris, tiba-tiba suara bel rumah Nasyha berbunyi.
"Sebentar ya, Sayang." Mama Nasyha meninggalkan Nasyha di kamarnya, dan berjalan menuju pintu untuk menyambut tamu yang telah menunggu.
*****
Saat Mama Nasyha membuka pintu rumahnya, sesaat Mama Nasyha terlihat kaget. Terdiam beberapa detik, baru mempersilahkan tamu itu masuk.
"Nasyha ada kan, Tante?" Harrimand memutar bolanya kesetiap sudut rumah Nasyha.
"Ada di kamar. Sebenarnya ada apa yah, Mand? Kalian ketemu dimana?" Mama Nasyha masih bersikap wajar seperti biasanya, seperti dulu Mama Nasyha menyambut Harrimand dengan hangat saat bertamu di rumahnya.
Harrimand menceritakan alasan ia dulu menghilang dan awal pertemuannya kembali dengan Nasyha. Untunglah Mama Nasyha mengerti dan memaklumi. Hingga Mama Nasyha bersedia membantu Harrimand menjelaskan semuanya pada Nasyha. Karena Mama Nasyha pun tahu, bahwa sebenarnya, putrinya pun masih mencintai Harrimand.
"Sebentar yah... Biar Tante yang jelasin sama Nasyha..." Mama Nasyha pun langsung menuju kamar Nasyha untuk membujuk Nasyha agar menemui Harrimand.
*****
Saat hendak masuk kedalam kamar Nasyha, ternyata Nasyha telah berada didepan kamarnya. "Aku udah tau yang dateng siapa... Mama juga mau bujuk aku kan? Gak mempan Ma..." Nasyha masih terus menangis. Air matanya serasa tak bisa berhenti.
"Tapi sampai kapan kamu seperti ini Sayang? Bukannya memaafkan itu lebih baik? Gak baik memendam rasa benci terlalu lama. Mama pun yakin, kamu masih sayang Harrimand kan?" Mama Nasyha tersenyum menggoda Nasyha.
"Mama...! Mama gak tau rasanya bertahan menyayangi orang yang gak tau dimana keberadaannya, ngelupain orang yang bahkan setiap waktu ada dipikiran aku. Dan perasaan itu bercampur jadi satu saat dia ada didepan aku. Gak mudah mah pahamin perasaan aku sendiri..." Nasyha mengerucutkan bibirnya karena kesal digoda oleh Mamanya.
"Kata siapa Mama gak pernah ngerasain? Mama pernah muda, dan pernah jatuh cinta. Lama jauh sebelum kamu ngerasain cinta. Tadi kamu bilang Mama gak tau rasanya menyayangi orang yang gak diketahui keberadaannya? Berarti kamu emang bener masih sayang Harrimand dong?!" Mama lagi-lagi mengedipkan matanya menggodaku.
"Ahh Mama... Tapi... Gak semudah itu... Hufth... Aku telanjur sakit..." Nasyha menarik napas panjang. Berusaha memahami perasaannya sendiri.
Kenapa kamu gak lupain kejadian tiga tahun lalu saat dia kehilangan dia. Kamu mulai lagi dari awal tepat tiga tahun lalu saat kamu mulai suka sama dia. Bisa kan? Daripada kamu terus bohongin perasaan kamu, dan semakin sakit? Mama tau kok perasaan kamu..." Mama mendekap Nasyha dalam pelukannya.
"Mama bener sih... Makasih yah Ma... Mama emang paling bijaksana dan paling ngerti aku!" Nasyha memeluk Mamanya dengan sangat erat.
"Iya Sayang... Mama gak mau kamu sedih lagi juga. Yaudah sana turun temuin Harrimand..." Mama Nasyha membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Oke Mama... Aku turun yah... Muaahh..." Nasyha langsung berlari menemui Harrimand, dengan sebuah kotak digenggamannya.
*****
"Nasyha..." Harrimand tersenyum saat melihat Nasyha sedang berjalan menghampirinya.
"Maaf aku..." belum selesai Nasyha berbicara, bibirnya telah ditahan oleh jari telunjuk Harrimand.
"Aku yang harusnya minta maaf... Bisa kan kita mulai semua dari awal lagi?" Harrimand menggenggam erat kedua pundak Nasyha dengan kedua tangannya.
“Aku maafin kok... Cinta sejati itu selalu memaafkan, selalu bersedia menunggu dan menanti, dan siap bertahan dan sakit karena sebuah penantian. Itu yang aku rasain, Mand..." Nasyha tersenyum pada Harrimand. Senyum yang hampir tiga tahun hilang, senyum yang selalu membuat Harrimand merindukannya.
"Ini buat kamu... Masih inget ini?" Harrimand mengeluarkan sekotak coklat untuk Nasyha.
"Inget kok! Bahkan sampe sekarang masih ada. Ini..." Nasyha menunjukkan kotak merah yang sedari tadi ia genggam.
"Masih ada sama coklatnya? Gak kamu makan? Udah kadaluarsa dong?" Harrimand menatap kotak merah muda yang ada ditangan Nasyha tanpa berkedip.
"Emang udah kadaluarsa! Tapi selalu aku simpen... Karena..." Nasyha tersenyum menggoda Harrimand yang terlihat serius menatapnya.
"Karena apa?!" Harrimand menatap Nasyha semakin tajam. Bola matanya serasa menembus dan menerawang tatapn Nasyha.
"Karena coklat bisa kadalauarsa, tapi cintaku untuk kamu tidak!" Nasyha mencubit lembut hidung Harrimand.
Harrimand hanya tersenyum tak mampu berkata apapun karena rasa bahagianya. Ia memeluk Nasyha sangat erat, untuk meluapkan rasa rindu bercampur bahagianya saat ini.
Harrimand dan Nasyha pun memulai kisah cinta mereka dari awal.
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua kesalahan, dan tidak ada kata lelah untuk sebuah penantian jika kita memang tulus dan tetap setia mencintai orang yang kita cintai. Karena tidak ada kata sia-sia untuk sebuah ketulusan dan perjuangan.
Coklat Bisa Kadaluarsa, Tapi Cintaku Tidak!
– END-
Follow : @AnnisPrianti / @Nisnizer_PCCN
Cintaku Nyasar ke Hatimu *RAISE* - Bag.5 #ENDING
Penulis : Annis Raka Prianti
Follow : @AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Sebelumnya
"Stev? Lo didalem?" Ku ketuk pintu gudang.
"Iya, siapa diluar?" Sahut Steven.
Aku membuka pintu gudang itu dan masuk kedalamnya. Ternyata Steve sedang duduk dipojok gudang. Ku tutup pintu gudang dan mulai berjalan menuju Stev.
"Jangan di...tu...tup... Hufth." Wajahnya terlihat pasrah.
"Lho kenapa? Terus lo ngapain disini aja? Ga balik ke Villa?" Aku pun duduk dihadapan Stev.
"Sekarang bukan cuma gue yang gak bisa balik ke Villa, tapi lo juga Grey..." Ucap Steven dengan raut wajah pasrah.
"Hah? Maksud lo? Kenapa kita gak bisa keluar?" Tanyaku mulai panik. Aku mulai memutar otakku dan mencerna maksud ucapan Steven.
"Pintunya kekunci, gak bisa dibuka dari dalem, cuma bisa dibuka dari luar." Ucapnya pasrah.
Tubuhku langsung gemetar, peluh mulai menetes dari pori-pori kulitku.
"Terus gimana kita mau keluar?" Tanyaku panik sambil berlari kearah pintu gudang.
"Yah tunggu ada yang bukain." Jawab Steven dengan raut wajah yang mulai frustasi.
"Duh mana gue laper... Gimana dong Stev?!" Aku terus memutar gagang pintu sialan itu.
"Yah sabar aja... Nih gue ada coklat. Seenggaknya bisa ganjel perut lo." Ucap Steven sambil mengulurkan coklat.
"Cuma satu? Lo gimana?" Ku raih coklat itu dengan ragu.
"Udah makan aja, yang penting kan elo..." Sahutnya dengan senyum yang berlesung dikedua pipinya. Terlihat sangat manis dibawah sinar redup yang masuk lewat ventilasi gudang ini. Yah, ku akui senyumnya sangat manis.
"Oh ya, udah dapet pengganti Iman?" Pertanyaan Steven membuatku tersadar dari lamunanku saat menatap wajahnya.
"Hah? Belum.. Belum ada yang cocok." Jawabku asal.
"Emang harus cocok yah? Bukannya justru dalam hubungan itu harus saling melengkapi satu sama lain? Kalo terlalu cocok dan gak ada perbedaan gak seru juga dong?" Sambung Steven sambil terus menatapku.
"Yah, gue belum bisa nentuin siapa orangnya. Gue masih takut untuk memulai yang baru. Gue takut sakit dan kecewa lagi." Ungkapku tanpa sadar.
Aneh! Biasanya aku hanya bisa curhat jika dengan Endrew. Bahkan dengan Gischa, aku masih punya beberapa rahasia besar.
"Setiap ada akhir, pasti ada awal yang baru. Jangan pernah takut untuk memulai sesuatu yang mungkin bisa jadi yang lebih baik, atau bahkan terbaik." Ucap Steven dengan senyum mautnya.
Sementara aku hanya tersenyum tak menjawab sepatah katapun.
"Kalau seandainya, ada orang yang tulus suka sama lo bahkan udah mulai sayang sama lo... Dan mau setia juga mulai serius, apa akan lo terima?" Steven semakin menatapku dalam. Membuatku sedikit gelisah dibuatnya.
"Gue belum tau Stev, yang pasti gue nilai dulu lah orangnya, gak akan sembarangan nerima cowok lah gue..." Ungkapku polos.
"Kalo orang yang tadi gue omongin itu gue sendiri? Apa jawaban lo?" Steven menatapku sambil tersenyum. Mengeluarkan senyum manisnya itu. Lesung pipnya terlihat jelas saat ia tersenyum.
"Hah?!" Mataku membulat menatap Steven. Tubuhku gemetar lagi. Detakkan jantungku pun tiba-tiba terasa lebih cepat. ada apa denganku?
"Jangan jawab sekarang... Gue mau lo pikirin secara mateng. Oke? Udah gak usah tegang gitu. Makan tuh coklatnya katanya laper. Tar keburu meleleh tuh coklat gara-gara lo remes gitu... Hahaha..." Steve tertawa lepas, seakan tak ada beban. Padahal ia baru saja mengungkapkan perasaannya padaku. Apakah semua ini hanya lelucon?
"Stev, becanda gak usah kelewatan deh!" Aku menjauh dari Steve. Sesaat aku tak mendengar suara Steve. Keheningan itu membuatku semakin gugup.
"Gue gak pernah bercanda Grey kalo soal perasaan..." Kurasakan tubuhku dipeluk dari belakang. Ya, Steven memelukku. Kedua tangannya dilingkarkan tepat dibawah leherku. Kurasakan hangatnya suhu tubuh Stev.
Tanpa sadar aku terhanyut dalam peluknya. Aku sama sekali tak mencoba berontak atau melepaskan pelukannya. Aku malah berharap Stev akan memelukku lebih erat.
"KREK...." tiba-tiba saja pintu gudang terbuka...
***
"KREK...." tiba-tiba saja pintu gudang terbuka...
"Grey?!" Iman berteriak dengan suara tertahan.
"Iman..." Steven langsung melepaskan pelukannya.
"Sorry, kalian ditunggu anak-anak." Iman pun langsung berlalu begitu saja. Tapi untungnya, pintu gudang tidak ditutup olehnya, dengan kata lain, aku bebas dari kurungan ini.
"Sorry Grey, gue kebawa suasana. Gue harap lo jawab dengan hati lo. Gak perlu buru-buru, gue akan selalu nunggu jawaban dari lo." Ungkap Steven. Steven pun menarik tanganku untuk berjalan keluar gudang. Aku hanya diam dan menurut. Aku tak tau perasaan apa ini... Aku bahan tidak bisa mengendalikan debaran jantungku sendiri. Kenapa? Ada apa sebenarnya dengan diriku?
***
"Lu berdua dari mana aja sih? Pacaran ye lo?!" Anes cekikikan menggodaku dan Stev.
"Gue kekunci di gudang! Udah spreinya gak ada..." Sahut Steven sambil melepaskan genggaman tangannya padaku. Tubuhnya ambruk di sofa.
"Sorry Stev, gue emang belum cek gudang belakang. Mungkin di gudang atas. Sorry yah... Makan dulu gih sana lo berdua." Rendy menatapku bingung.
Ya sedaritadi aku terdiam dan berdiri mematung. Debaran jantungku mulai normal, namun tubuhku masih gemetar.
"Grey? Lo gak apa-apa kan? Lo gak sawan kan?" Endrew mencubit kedua pipiku.
"Hah? Nggak, gue cuma laper." Sahutku asal.
"Hahahaha... kasian ampe sawan anak orang gara-gara kelaperan. Makan sana Grey!" Rendy tertawa kecil sambil tersenyum memandangku.
Rendy, sadarkah kau tentang perasaan ini? Aku mengagumi senyummu yang selalu membuat hatiku luluh. Tatapan matamu yang selalu membuat hatiku serasa meleleh. Tapi kenapa? Kenapa kau tak pernah menyadari itu?
"Greeyy!" Endrew menarik hidung mungilku. Lebih tepatnya hidung pesekku.
"Sakit!" Teriakku tepat didepan wajah Endrew.
"Tuh kan baru sadar kan nih anak. Lo kenapa sih Grey? Sakit?" Endrew meletakkan punggung telapak tangannya di dahiku.
"Ikut gue yuk!" Ku tarik Endrew berlari keluar Villa.
Aku terus berjalan cepat sambil terus menarik Endrew bersamaku.
"Aduh Grey lo kenapa sih?!" Endrew memaksaku menghentikan langkahku.
"Gue bingung Drew.. Lo tau?! Stev bilang dia suka sama gue, dia membak gue! Gue gak tau harus gimana sekarang.." Ungkapku sambil menatap langit yang mulai gelap.
"Kenapa musti bingung? Gue gak tau jawabannya. Cuma lo yang tau jawabannya... Tanya sama hati lo.." Endrew mencengkram pundakku.
"Lo tau kan, selama ini yang gue suka siapa? Sedangkan Stev..." Aku memandang coklat pemberian Stev tadi.
"Stev kenapa?!" Endrew ikut memandang coklat ditanganku.
"Dia buat gue suka sama dia... Yah jujur, gue mulai suka sama gue. Gue ngerasa dia selalu perhatian sama gue, selalu berusaha jadi dewa penolong gue..." Ungkapku sambil tersenyum saat mengingat wajahnya.
"Jadi? Pilihan lo?!" Endrew menggaruk kepalanya kebingungan.
"Waktu gue jatuh.. Yang gendong gue siapa?" Ku tatap Endrew yang kebingungan.
"Steven." Sahut Endrew.
"Yang palin sering nanyain kondisi gue, yang gak pernah malu nunjukin perhatiannya ke gue? Waktu semua ninggalin gue kesini, satu-satunya yang mau nungguin gue sampe kaki gue sembuh? Lo tau siapa?!" Senyumku makin mengembang lagi.
"Steven?" Endrew mengangkat sebelah alisnya.
"Yeah... Gue tau jawabannya. Aaahh Endrew gue tau jawabannya!" Ku peluk Endrew dengan riang.
"Nah gitu dong.. Gue juga lebih setuju lo sama Steven.. Yaudah kita balik ke Villa yuk!" Endrew menarik tanganku untuk berjalan.
"Gak... Lo aja.. Gue mau disini..." Sahutku cuek.
"Hah?" Endrew mendekatkan matanya dengan mataku.
"Panggilin Stev kesini yah... Ada sesuatu yang mau gue lakuin. Oke?" Aku tersenyum memelas.
"Siap... Gue seneng lo udah dapetin keceriaan lo yang udah lama ilang. Yaudah, tunggu yah!" Endrew pun berlari menuju Villa. Aku pun duduk dibawah sebuah pohon yang rindang, tak jauh dari Villa.
Tak lama, aku melihat sosok Steven sedang berlari dari kejauhan.
"Grey? Lo gak apa-apa?" Stev terlihat cemas.
"Jantung gue..." Ku tarik tangan Steven dan ku letakan diatas hatiku.
"Ya ampun lo deg-degan gini? Lo sakit?" Steven terlihat semakin panik.
"Gara-gara lo tau!" Ucapku pelan.
"Hah?" Raut wajah Steven semakin tak karuan. Perpaduan antara bingung dan panik, sungguh lucu!
"Yah gue kayak gini tiap ada lo... Gue mau Stev, terima lo..." Ungkapku sambil tersenyum dan meremas tangannya yang masih ada diatas hatiku.
Stev tersenyum padaku, senyum termanis yang pernah ku lihat.
*CUP* Steven mencium keningku.
"Aahh pingsan deh..." Aku berbaring diatas padang rumput hijau. Steven pun ikut berbaring disebelahku.
"Gue gak tau kenapa ini terjadi, sejak kapan perasaan ini tumbuh... Tapi yang gue yakini pasti, gue juga suka sama lo.. Debaran jantung ini, cuma lo yang bisa buat dihati gue. Karena itu, hati gue bilang... Gue milih lo..." Ku tatap Stev yang sedang menatapku dengan senyumnya.
Ia meraih tanganku dan meletakkannya diatas hatinya, sama seperti yang aku lakukan tadi.
"Gue udah gak bisa ngomong apa-apa... Lo bisa cari jawabannya sendiri disini." Stev meremas lembut tangannya yang sedang menggenggam tanganku. Debaran jantungnya sama seperti debaran jantungku. Steven memejamkan matanya, begitupun aku. Ku letakan tanganku yang satu lagi tepat dihatiku. Ku nikmati perpaduan debarang jantungku dan jantung Stev yang seperti sedang berlomba.
Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba cintaku bisa nyasar ke hati Stev... Tapi yang bisa aku mengerti, perasaan ini adalah cinta.
Cintaku... Nyasar ke hati Stev... :)
Jangan pernah egois dalam mencintai seseorang, jangan terlampau jauh mencintai dan menegjar seseorang... Dan saat kau sudah tak mampu mengejar orang yang kamu cintai, rasakanlah cinta yang hadir disekitarmu. Kamu tak akan pernah tau kalau dialah yang terbaik, atau setidaknya jauh lebih baik dari sebuah harapan kosong yang kau kejar :)
-END-
NISNIS
KRITIK DAN SARAN DITERIMA
JANGAN LUPA Follow @AnnisPrianti_ (twitter baru) :))
Follow : @AnnisPrianti / @AnnisPrianti_
Sebelumnya
"Stev? Lo didalem?" Ku ketuk pintu gudang.
"Iya, siapa diluar?" Sahut Steven.
Aku membuka pintu gudang itu dan masuk kedalamnya. Ternyata Steve sedang duduk dipojok gudang. Ku tutup pintu gudang dan mulai berjalan menuju Stev.
"Jangan di...tu...tup... Hufth." Wajahnya terlihat pasrah.
"Lho kenapa? Terus lo ngapain disini aja? Ga balik ke Villa?" Aku pun duduk dihadapan Stev.
"Sekarang bukan cuma gue yang gak bisa balik ke Villa, tapi lo juga Grey..." Ucap Steven dengan raut wajah pasrah.
"Hah? Maksud lo? Kenapa kita gak bisa keluar?" Tanyaku mulai panik. Aku mulai memutar otakku dan mencerna maksud ucapan Steven.
"Pintunya kekunci, gak bisa dibuka dari dalem, cuma bisa dibuka dari luar." Ucapnya pasrah.
Tubuhku langsung gemetar, peluh mulai menetes dari pori-pori kulitku.
"Terus gimana kita mau keluar?" Tanyaku panik sambil berlari kearah pintu gudang.
"Yah tunggu ada yang bukain." Jawab Steven dengan raut wajah yang mulai frustasi.
"Duh mana gue laper... Gimana dong Stev?!" Aku terus memutar gagang pintu sialan itu.
"Yah sabar aja... Nih gue ada coklat. Seenggaknya bisa ganjel perut lo." Ucap Steven sambil mengulurkan coklat.
"Cuma satu? Lo gimana?" Ku raih coklat itu dengan ragu.
"Udah makan aja, yang penting kan elo..." Sahutnya dengan senyum yang berlesung dikedua pipinya. Terlihat sangat manis dibawah sinar redup yang masuk lewat ventilasi gudang ini. Yah, ku akui senyumnya sangat manis.
"Oh ya, udah dapet pengganti Iman?" Pertanyaan Steven membuatku tersadar dari lamunanku saat menatap wajahnya.
"Hah? Belum.. Belum ada yang cocok." Jawabku asal.
"Emang harus cocok yah? Bukannya justru dalam hubungan itu harus saling melengkapi satu sama lain? Kalo terlalu cocok dan gak ada perbedaan gak seru juga dong?" Sambung Steven sambil terus menatapku.
"Yah, gue belum bisa nentuin siapa orangnya. Gue masih takut untuk memulai yang baru. Gue takut sakit dan kecewa lagi." Ungkapku tanpa sadar.
Aneh! Biasanya aku hanya bisa curhat jika dengan Endrew. Bahkan dengan Gischa, aku masih punya beberapa rahasia besar.
"Setiap ada akhir, pasti ada awal yang baru. Jangan pernah takut untuk memulai sesuatu yang mungkin bisa jadi yang lebih baik, atau bahkan terbaik." Ucap Steven dengan senyum mautnya.
Sementara aku hanya tersenyum tak menjawab sepatah katapun.
"Kalau seandainya, ada orang yang tulus suka sama lo bahkan udah mulai sayang sama lo... Dan mau setia juga mulai serius, apa akan lo terima?" Steven semakin menatapku dalam. Membuatku sedikit gelisah dibuatnya.
"Gue belum tau Stev, yang pasti gue nilai dulu lah orangnya, gak akan sembarangan nerima cowok lah gue..." Ungkapku polos.
"Kalo orang yang tadi gue omongin itu gue sendiri? Apa jawaban lo?" Steven menatapku sambil tersenyum. Mengeluarkan senyum manisnya itu. Lesung pipnya terlihat jelas saat ia tersenyum.
"Hah?!" Mataku membulat menatap Steven. Tubuhku gemetar lagi. Detakkan jantungku pun tiba-tiba terasa lebih cepat. ada apa denganku?
"Jangan jawab sekarang... Gue mau lo pikirin secara mateng. Oke? Udah gak usah tegang gitu. Makan tuh coklatnya katanya laper. Tar keburu meleleh tuh coklat gara-gara lo remes gitu... Hahaha..." Steve tertawa lepas, seakan tak ada beban. Padahal ia baru saja mengungkapkan perasaannya padaku. Apakah semua ini hanya lelucon?
"Stev, becanda gak usah kelewatan deh!" Aku menjauh dari Steve. Sesaat aku tak mendengar suara Steve. Keheningan itu membuatku semakin gugup.
"Gue gak pernah bercanda Grey kalo soal perasaan..." Kurasakan tubuhku dipeluk dari belakang. Ya, Steven memelukku. Kedua tangannya dilingkarkan tepat dibawah leherku. Kurasakan hangatnya suhu tubuh Stev.
Tanpa sadar aku terhanyut dalam peluknya. Aku sama sekali tak mencoba berontak atau melepaskan pelukannya. Aku malah berharap Stev akan memelukku lebih erat.
"KREK...." tiba-tiba saja pintu gudang terbuka...
***
"KREK...." tiba-tiba saja pintu gudang terbuka...
"Grey?!" Iman berteriak dengan suara tertahan.
"Iman..." Steven langsung melepaskan pelukannya.
"Sorry, kalian ditunggu anak-anak." Iman pun langsung berlalu begitu saja. Tapi untungnya, pintu gudang tidak ditutup olehnya, dengan kata lain, aku bebas dari kurungan ini.
"Sorry Grey, gue kebawa suasana. Gue harap lo jawab dengan hati lo. Gak perlu buru-buru, gue akan selalu nunggu jawaban dari lo." Ungkap Steven. Steven pun menarik tanganku untuk berjalan keluar gudang. Aku hanya diam dan menurut. Aku tak tau perasaan apa ini... Aku bahan tidak bisa mengendalikan debaran jantungku sendiri. Kenapa? Ada apa sebenarnya dengan diriku?
***
"Lu berdua dari mana aja sih? Pacaran ye lo?!" Anes cekikikan menggodaku dan Stev.
"Gue kekunci di gudang! Udah spreinya gak ada..." Sahut Steven sambil melepaskan genggaman tangannya padaku. Tubuhnya ambruk di sofa.
"Sorry Stev, gue emang belum cek gudang belakang. Mungkin di gudang atas. Sorry yah... Makan dulu gih sana lo berdua." Rendy menatapku bingung.
Ya sedaritadi aku terdiam dan berdiri mematung. Debaran jantungku mulai normal, namun tubuhku masih gemetar.
"Grey? Lo gak apa-apa kan? Lo gak sawan kan?" Endrew mencubit kedua pipiku.
"Hah? Nggak, gue cuma laper." Sahutku asal.
"Hahahaha... kasian ampe sawan anak orang gara-gara kelaperan. Makan sana Grey!" Rendy tertawa kecil sambil tersenyum memandangku.
Rendy, sadarkah kau tentang perasaan ini? Aku mengagumi senyummu yang selalu membuat hatiku luluh. Tatapan matamu yang selalu membuat hatiku serasa meleleh. Tapi kenapa? Kenapa kau tak pernah menyadari itu?
"Greeyy!" Endrew menarik hidung mungilku. Lebih tepatnya hidung pesekku.
"Sakit!" Teriakku tepat didepan wajah Endrew.
"Tuh kan baru sadar kan nih anak. Lo kenapa sih Grey? Sakit?" Endrew meletakkan punggung telapak tangannya di dahiku.
"Ikut gue yuk!" Ku tarik Endrew berlari keluar Villa.
Aku terus berjalan cepat sambil terus menarik Endrew bersamaku.
"Aduh Grey lo kenapa sih?!" Endrew memaksaku menghentikan langkahku.
"Gue bingung Drew.. Lo tau?! Stev bilang dia suka sama gue, dia membak gue! Gue gak tau harus gimana sekarang.." Ungkapku sambil menatap langit yang mulai gelap.
"Kenapa musti bingung? Gue gak tau jawabannya. Cuma lo yang tau jawabannya... Tanya sama hati lo.." Endrew mencengkram pundakku.
"Lo tau kan, selama ini yang gue suka siapa? Sedangkan Stev..." Aku memandang coklat pemberian Stev tadi.
"Stev kenapa?!" Endrew ikut memandang coklat ditanganku.
"Dia buat gue suka sama dia... Yah jujur, gue mulai suka sama gue. Gue ngerasa dia selalu perhatian sama gue, selalu berusaha jadi dewa penolong gue..." Ungkapku sambil tersenyum saat mengingat wajahnya.
"Jadi? Pilihan lo?!" Endrew menggaruk kepalanya kebingungan.
"Waktu gue jatuh.. Yang gendong gue siapa?" Ku tatap Endrew yang kebingungan.
"Steven." Sahut Endrew.
"Yang palin sering nanyain kondisi gue, yang gak pernah malu nunjukin perhatiannya ke gue? Waktu semua ninggalin gue kesini, satu-satunya yang mau nungguin gue sampe kaki gue sembuh? Lo tau siapa?!" Senyumku makin mengembang lagi.
"Steven?" Endrew mengangkat sebelah alisnya.
"Yeah... Gue tau jawabannya. Aaahh Endrew gue tau jawabannya!" Ku peluk Endrew dengan riang.
"Nah gitu dong.. Gue juga lebih setuju lo sama Steven.. Yaudah kita balik ke Villa yuk!" Endrew menarik tanganku untuk berjalan.
"Gak... Lo aja.. Gue mau disini..." Sahutku cuek.
"Hah?" Endrew mendekatkan matanya dengan mataku.
"Panggilin Stev kesini yah... Ada sesuatu yang mau gue lakuin. Oke?" Aku tersenyum memelas.
"Siap... Gue seneng lo udah dapetin keceriaan lo yang udah lama ilang. Yaudah, tunggu yah!" Endrew pun berlari menuju Villa. Aku pun duduk dibawah sebuah pohon yang rindang, tak jauh dari Villa.
Tak lama, aku melihat sosok Steven sedang berlari dari kejauhan.
"Grey? Lo gak apa-apa?" Stev terlihat cemas.
"Jantung gue..." Ku tarik tangan Steven dan ku letakan diatas hatiku.
"Ya ampun lo deg-degan gini? Lo sakit?" Steven terlihat semakin panik.
"Gara-gara lo tau!" Ucapku pelan.
"Hah?" Raut wajah Steven semakin tak karuan. Perpaduan antara bingung dan panik, sungguh lucu!
"Yah gue kayak gini tiap ada lo... Gue mau Stev, terima lo..." Ungkapku sambil tersenyum dan meremas tangannya yang masih ada diatas hatiku.
Stev tersenyum padaku, senyum termanis yang pernah ku lihat.
*CUP* Steven mencium keningku.
"Aahh pingsan deh..." Aku berbaring diatas padang rumput hijau. Steven pun ikut berbaring disebelahku.
"Gue gak tau kenapa ini terjadi, sejak kapan perasaan ini tumbuh... Tapi yang gue yakini pasti, gue juga suka sama lo.. Debaran jantung ini, cuma lo yang bisa buat dihati gue. Karena itu, hati gue bilang... Gue milih lo..." Ku tatap Stev yang sedang menatapku dengan senyumnya.
Ia meraih tanganku dan meletakkannya diatas hatinya, sama seperti yang aku lakukan tadi.
"Gue udah gak bisa ngomong apa-apa... Lo bisa cari jawabannya sendiri disini." Stev meremas lembut tangannya yang sedang menggenggam tanganku. Debaran jantungnya sama seperti debaran jantungku. Steven memejamkan matanya, begitupun aku. Ku letakan tanganku yang satu lagi tepat dihatiku. Ku nikmati perpaduan debarang jantungku dan jantung Stev yang seperti sedang berlomba.
Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba cintaku bisa nyasar ke hati Stev... Tapi yang bisa aku mengerti, perasaan ini adalah cinta.
Cintaku... Nyasar ke hati Stev... :)
Jangan pernah egois dalam mencintai seseorang, jangan terlampau jauh mencintai dan menegjar seseorang... Dan saat kau sudah tak mampu mengejar orang yang kamu cintai, rasakanlah cinta yang hadir disekitarmu. Kamu tak akan pernah tau kalau dialah yang terbaik, atau setidaknya jauh lebih baik dari sebuah harapan kosong yang kau kejar :)
-END-
NISNIS
KRITIK DAN SARAN DITERIMA
JANGAN LUPA Follow @AnnisPrianti_ (twitter baru) :))
Langganan:
Postingan (Atom)