Minggu, 08 Februari 2015

PHP - Part 1


Judul : PHP - Pecinta Harapan Palsu

Tema : Romance

Tokoh Utama :

- Adellia Clarissa
- Hendri Pratama
- Mario Prasetya

Other Cast :

Find In This Story

Part 1



PHP – Pecinta Harapan Palsu

Aku tidak percaya ada cinta yang benar-benar kuat. Semua cinta pada akhirnya pasti akan berakhir, atau perlahan menghilang – Adellia Clarissa

***

“Oh ayolah Hendri, kenapa lama sekali!” Beberapa kali aku meremas ujung kaosku karena gelisah menunggu dijemput oleh Hendri, laki-laki yang sudah menjadi kekasihku hampir satu tahun. Aku tidak  tahu kenapa aku menerimanya, yang aku tahu ia sangat menyayangiku. Dan itu cukup menjadi alasan mengapa aku menerimanya menjadi pacarku sampai saat ini. Terlebih Hendri bukan laki-laki yang suka macam-macam dengan wanita lain. Aku sudah memastikannya berpuluh-puluh kali.
“Maaf, Bey. Tadi mobil dipakai sama Abang untuk jemput Mama. Dan jalanan macet banget, ayo masuk.” Hendri membukakan pintu mobil dengan wajah cemas. Aku tahu dia cemas dan takut kalau aku marah padanya. Ia selalu takut melihatku marah padanya, katanya itu membuatnya tersiksa.
“Jadi udah tau mau makan apa, Bey?” Hendri yang sibuk mengemudi sesekali melirikku yang terlihat diam tanpa sepatah katapun bahkan saat tadi ia minta maaf.
“Apa aja terserah.” Aku menjawabnya dengan datar tanpa menatap Hendri dan malah sibuk dengan ponselku.
“Ngertiin aku sekali aja, Bey… Aku juga usaha kok supaya cepet sampe. Jangan sedikit-sedikit ngambek kenapa sih?” Hendri mulai berontak dari perlakuan semena-menaku terhadapnya. Tapi aku yakin ia akan sia-sia untuk kesekian kalianya untuk berbalik marah padaku.
“Yah kalo gak suka yaudah, tinggalin aja aku. Aku emang kayak gini koK, kalo gak mau terima yah gak usah pacaran sama aku!” Nada ketusku berhasil membuatnya terdiam dan menggenggam tanganku.
“Maaf, oke aku minta maaf. Jadi sekarang kita mau makan apa? Kamu pasti laper nunggu aku kan?” Ya, Hendri selalu luluh padaku akhirnya. Inilah yang membuatku bosan, dan mungkin juga alasan kenapa aku tidak bisa mencintainya bahkan setelah hampir satu tahun kami pacaran.
“Oke aku ngerti… Ketempat Steak biasa aja. Aku bingung mau makan apa.” Aku masih mengeluarkan nada ketusku, dan Hendri mulai membelai puncak kepalaku. Aku bisa merasakannya. Seluruh perasaan Hendri yang tersampaikan disetiap belaiannya pada helai rambutku. Tapi aku bahkan belum menemukan alasan untuk membalas perasaannya. Aku hanya tersu menghindar untuk menyayanginya lebih tepatnya.
Karena dia terlalu mencintaiku, untuk apa mencintainya? Bukankah orang bilang dicintai lebih indah? – Adellia Clarissa.

***
Hari ini entah kenapa tiba-tiba aku ingin mendengar music yang berbeda, aku mencoba mendengarkan music di radio yang 95% dari music itu aku tidak mengerti, tapi mendengar suara penyiar yang beberapa hari ini aku dengar secara tidak sengaja itu membuatku ingin terus mendengarkan radio, tidak lebih tepatnya suara merdu si penyiar yang menyebut dirinya Mario.
Karena pribadiku yang usil, aku mencoba mengirim tweet ke penyiar dengan suara merdu itu dan memberinya jurus gombalku dengan embel-embel menyiapkan sarapan untuk si penyiar pagi bersuara merdu itu. Dan entah ini takdir atau gak sengaja, si penyiar dengan suara merdu itu –Mario- membalas twitku dan bersedia mencoba masakkanku. Baru kali ini aku merasa sebahagia ini berinteraksi dengan lawan jenis yang belum aku kenal. Aku hanya mengenal Mario lewat suara merdunya di radio, kenapa aku merasa bahagia saat ia membalas tweetku. Dan rasa bahagiaku belum selesai saat aku menyadari, tweeterku difollow back sama Mario. Well, aku lupa kalau aku punya pacar dan aku harus berhenti tertarik padanya.
Namun, bukan Adellia Clarissa jika aku tidak melanjutkan niat usilku sampai tuntas. Aku mengirimkan pesan pribadi pada Mario tentang tanggal kedatanganku ketempat Mario siaran. Dan bagai padi yang hidup selama satu abad kemarau yang tiba-tiba terkena air hujan, aku merasa bahagia dengan balasan pesannya yang bilang menungguku. Oh Tuhan, sadarkan aku, Hendri maafkan aku dan Mario berhenti menghiraukanku! Baik, jangan salahkan Mario, dia terlalu baik untuk disalahkan bagiku.

***

Seperti yang aku rencanakan sebelumnya, kini aku sudah sukses berada didepan kantor radio tempat Mario siaran. Suara merdunya sudah terdengar, sialnya aku telat dan harus menunggunnya membalas tweetku. Tak lama setelah sebuah lagu diputar diradio, Mario terlihat keluar dari tempatnya siaran, ia tersenyum dan melambai kerahku. Kenapa aku begitu yakin itu Mario? Bisa saja itu pegawai radio yang baru saja keluar untuk mencari seseuatu. Tapi debaran jantungku tidak bisa membohongi mataku. Debaran jantungku sama seperti saat aku merasa bahagia kala Mrio membalas tweetku maupun pesanku.
“Adellia?” Sapanya sambil tersenyum indah padaku. Ini adalah senyum terindah untukku, baiklah sejenak lupakan Hendri dan statusku. Aku benar-benar terpukau seperti lagu Astrid kali ini.
“Iya… Mario?” Aku berpura-pura tidak yakin, walau dalam hatiku sangat yakin laki-laki tampan dihdapanku adalah Mario! Ya tidak perlu diragukan lagi debaran jantungku.
“Masuk yuk, sampai jam berapa tadi disini?” Mario membukakan pintu café yang berada dalam satu gedung dengan kantor penyiaran. Lantai dasar dari kantor ini memang café dengan desain vintage.
“Baru kok, Mario gak siaran?” Aku masih terpana hingga suaraku bergetar karena gugup. Bodoh, inilah sisi bodoh Adel, sisi canggung yang ingin aku sembunyikan.
“Oh, duduk dulu deh ya. Bentar lagi mau siaran lagi keatas. Mau minum apa? Hmm… Suka Kopi? Disini yang enak sih Vanilla Latte-nya, mau?” Wajah seriusnya saat melirik daftar menu dan memesan minuman untukku sungguh membuatku ingin berlari padanya sekarang juga, dan mencubit kedua pipinya yang sedikit chubby.
“Boleh apa aja…” Oh Ayolah Adel, kendalikan sikap gugupmu dan jangan merusak suasana indah ini dengan nada ah eum saja.
“Mba Vanilla Latte 1 ya… Adel, aku keatas dulu yaa siaran, nanti balik lagi…” Mario langsung berlari menaiki anak tangga, dan mataku tak henti-hentinya mencari sosok tampan yang memiliki suara merdu itu. Jika sebelumnya aku menyukainya karena suara merdunya, kali ini aku menyukai ketampanan wajahnya. Aku benar-benar merasa Mario pria idealku. Tentu.
Saat aku menatap sekeliling ruangan ini, aku menemukan sebuah kaca tepat diatasku. Dan Mario terlihat duduk disana. Ternyata dari sanalah ia mengeluarkan suara merdunya dan menyembunyikan ketampanan wajahnya.
Tidak, jangan melirik kerahku, jangannnn!!! Oh sial! Dia melirikku dari atas tempat dia siaran. Tersenyum dan melambaikan tangannya kearahku. Apakah dia berniat membunuhku dengan pesonanya? Oh ayolah Mario, jangan membuatku mati karena terpesona padamu. Berhentilah bersikap manis dan memikatku. Tidak ini bukan salahnya, aku terlalu menikmati pesonanya? Bukankah begitu? Lalu bagaimana cara mengendalikan diriku dari pesona yang Mario berikan sejak awal aku bertemu dengannya?

To Be Continued…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar